1719296286664

Henny  Theresia Pellokila-Johannes 21 Mei 1936 – 27 Juni 2011

Ibu yang Melahirkan
Ibu yang Sendiri
Ibu yang  Memelihara
Ibu yang Tegar

Manuscript Suara Pesan Terakhir (direkam oleh Noldy Pellokila, sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhir)

Mama mengharapkan semua anak-anak berdoa dan di dalam kesukaran kesulitan dan apa pun mintalah kepada TUHAN karena DIA yang mempunyai segala-galanya.

Dalam susah, di dalam senang, harus tetap mengucap syukur, karena TUHAN tidak pernah meninggalkan anak-anak-Nya yatim-piatu

Sebagaimana tiga puluh dua tahun yang lalu, mama berusaha untuk kamu semua dengan tanpa sesuatu apa pun, hanyalah mama berharap TUHAN sajalah yang mengatur langkah-langkah daripada semua anak-anak; dan TUHAN yang menjadi BAPA, TUHAN yang menjadi suami,  sehingga saya bisa membesarkan anak-anak

Kadang kala saya berdiri di atas tempat tidur,  dan saya sembayang  dan menangis dari manakah,  dari manakah saya mendapat makanan sampai saya kasih makan anak-anak sekian banyak ini, dari manakah saya mendapat uang untuk sekolahkan anak-anak, tapi di balik itu, mama yakin dan percaya bahwa apa yang saya telah minta dari pada TUHAN, maka TUHAN akan memberikannya, berikan yang terbaik bagi tiap-tiap anak-Nya. Sampai saat ini, TUHAN masih tetap menyertai dan melindungi.

Ingat supaya di dalam suka, di dalam sukar sekalipun, jangan mengharapkan diri sendiri, tidak ada guna; semua harus mengimani mama punya pedoman di dalam duka, suka, di dalam senang; tadi kita menyanyi [INDAH RENCANA MU, merupakan lagu kesayangan dan terakhir yang mamai-mama-oma nyanyikan], TUHAN senantiasa menyediakan yang terbaik bagi kita.

mama

Dalam Kenangan

Terlahir dalam kesunyian di desa yang sepi, Talae Rote tiga per empat abad yang lalu.

Kesepian dan kejauhan tempat lahirnya, tak menyurutkan dirinya, untuk maju dan maju, karena ia bukan perempuan biasa.

Masa remajanya di habiskan untuk belajar; sesuatu yang tak biasa bagi gadis-gadis belia seusia dan semasanya.

Namun, perkawinan membuatnya berhenti; berhenti dari cita-cita sebagai seorang pendidik.

Karena bukan perempuan biasa, menjadi isteri dan ibu, tidak menghalangi dirinya untuk berbuat;
berbuat banyak untuk suami dan anak-anaknya.

Ketika ia masih menyusun rencana agar anak-anaknya menaiki anak-anak tangga hidup dan kehidupan.
Ia harus menjadi ibu sekaligus ayah untuk semua.

Hari duka suaminya masih terbayang, harus dilengkapi dengan hari duka anak tertua. Ia menjadi sendiri untuk semua, tanpa banyak kata dan suara.
Sendiri dan kesepian menjadikan ia kuat.
Kuat melepaskan anak-anaknya pergi, pergi membangun diri, pergi menyusun hari-hari selanjutnya.

Ia hanya bicara dengan mata dan air mata ketika anak-anaknya,
melangkah pergi,
melangkah kembali.

Ia juga bicara dengan mata, bicara dengan kata tanpa banyak suara ketika satu demi satu anaknya membangun keluarga,
dan,
ketika anak-anaknya bercerita tentang pahit manisnya keluarga yang mereka bentuk.

Ia tidak memberi banyak nasehat kata-kata, tapi sentuhan dan pelukan.
Sentuhan dan pelukan yang melegakan, menenangkan, menyegarkan, menghibur.

Sentuhan dan pelukan yang menghentikan aliran deraian air mata.
Pelukan dan telapak tangannya yang menjadi bak air mata serta menyimpan dalam hatinya.
Ketika satu demi satu anak-anak menjadi, dan jadi dalam dekapan tangan kasih sayangnya.

Ia kembali menjadi Pusat
bukan lagi PUSAT kesepian dan kesendirian,
bukan lagi pusat mengalirnya air mata,
bukan lagi pusat derita dan kesedihan.

Ia menjadi pusat senyum, pusat cerita cinta, pusat cerita cita.
Ia menjadi pusat yang menyatukan semua.
Ia menjadi pusat gelak tawa semua anak cucu.

Kini, sekian waktu yang lalu PUSAT itu telah pergi.
Ia melangkah jauh.
Ia menuju kejauhan.
Kejauhan yang tak terjangkau.

Ia yang tak terlupakan.
Ia selalu ada dalam setiap hati.

Opa Jappy

1719293776565

MJF Pellokila, 15 Desember  1934 – 1 Agustus 1979

Born in silence in a quiet village, Talae Rote three quarters of a century ago.

The loneliness and distance of her birthplace did not stop her from progressing and moving forward, because she was not an ordinary woman.

Shis teenage years were spent studying; something unusual for young girls of her age and time.

However, marriage made her stop; quit her dream of being an educator.

Because she is not an ordinary woman, being a wife and mother does not prevent her from doing; did a lot for her husband and children.

When she was still making plans for his children to climb the ladder of life and life.
She must be both mother and father to all.

Her husband’s day of mourning is still looming, it must be complemented by the day of mourning for her eldest child.

She becomes alone for all, without many words and sounds.

Alone and loneliness make her strong.
Strong to let the children go, go build themselves, go plan the next days.

She only spoke with eyes and tears when his children,
walk away,
step back.

She also spoke with his eyes, speaking with words without much sound when one by one her children started a family,

And,

when their children tell stories about the bittersweet family they formed.

She didn’t give much advice in words,
but touch and hug.
Touches and hugs are comforting, calming, refreshing, comforting.

Touches and hugs that stop the flow of tears.
Her hugs and palms turned into tears and kept them in her heart.

When one by one the children become, and become in her loving arms.

Her is back to being the CENTER.
no longer the CENTER of loneliness and solitude,
no longer the center of the flow of tears,
no longer the center of suffering and sadness.

She becomes the center of smiles, the center of love stories, the center of stories of dreams.

It is the center that unites everything.

She became the center of laughter for all his children and grandchildren.

Now, so long ago the CENTER was gone.
She went far.
She headed into the distance.
Unreachable distance.

She is unforgettable.
She is always in every heart.

Opa Jappy