download (1)

Sekitaran Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pancasila, Menteng Jakarta Pusat | Sekian Bulan ke depan,  NKRI mengadakan Pemilu 2024 (tepatnya 14 Februari 2024), di dalamnya ada Pemilihan Anggota Parlemen, Kepala Daerah, dan Presiden/Wapres. Suatu kerja akhbar dengan biaya sekitar Rp 100 T.-

Melalui ajang tersebut, segenap elemen Bangsa mengharapkan, (i) di Parlemen muncul politisi yang benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat, (ii) Kepala Daerah yang benar-benar abdikan diri untuk membangun rakyat, serta (iii) Presiden/Wapres yang bisa meneruskan dan menuntaskan pembangunan bangsa yang sementara berlangsung.

Itu hanya harapan? Tidak juga. Pastinya, mayoritas Orang Indonesia ingin seperti itu. Namun walau ada kepastian, tak sedikit orang yang menyebutnya sebagai ketidakpastian; karena “dalam politik hanya ada satu kepastian yaitu ketidakpastian.”

Menolak Lupa

Ya, dalam politik, terutama Pemilu, penuh dengan ketidakpastian. Faktanya, banyak orang optimis terpilih atau menang, tapi ternyata kalah; kemudian n depresi. Sehingga, orang-orang yang tidak siap kalah dan tak terpilih tersebut melakukan apa saja demi ambisi serta menutupi kekalahan.

Masih ingat dalam ingatan, Pilkada DKI Jakarta dan Pilpres kemarin? Banyak orang, termasuk Media Luar Negeri,  menyebut Pilkada DKI Jakarta tersebut sebagai “Pilkada Terburuk dan Terbrutal di Indonesia.  Sementara Pilpres 2019, terutama saat Kampanye kandidat tertentu (dan para pendukungnya), juga merupakan arena tanpa moral dan etika politik.

Kedua peristiwa tersebut, secara kasat mata, ada kandidat, pada saat kampanye, yang menggunakan sentimen SARA, orasi dan narasi kebencian terhadap pribadi serta kelompok lain; juga berbagai sebaran yang bersifat pembunuhan karakter, rasisme, dan intoleran.

Pada saat itu, Pilkada dan Pilpres yang seharusnya bagaikan “orang-orang bergembira serta bersukacita dalam rumah pesta; namun yang terlihat adalah wajah-wajah galak, marah, ketidaksukaan, bahkan gaduh seperti di arena perang.”

#####

Kini, jelang Pemilu 14 Februari 2024, potensi kegaduhan tersebut mulai menggejala. “Pra Kampanye Hitam” yang saling menjatuhkan, intrik, sebaran ujar kebencian, hoaks, dan sejenisnya mulai tersebar dalam bentuk artikel, flyer, dan video.

Tak sedikit ajang “Deklarasi Kandidat dan Pidato Politik (berbau agama)” berisi hal-hal bersifat provokatif, superioritas dan inferioritas kelompok, perlawanan terhadap pemerintah, bahkan orasi serta narasi anti pluralisme, rasisme, plus sentimen SARA.

Itu semua dibungkus sebagai politik identitas dengan varian-variannya. Pada konteks seperti itu, politisi membangun branding diri (dan kelompok) dengan identitas sentimen perbedaan SARA dan ideologi.

Dengan model seperti itu, maka yang nampak adalah tidak mengedepankan kepentingan bangsa melainkan berebut kekuasaan serta menjerumuskan demokrasi ke dalam titik terendah. Sikon itu, memungkinkan terjadi pengkotakan-pengkotakan sosial, bukan lagi polarisasi dua kutub; dan jika tidak ada penyelesaian, maka berujung pada konflik serta kerusuhan “Pra dan Pasca Pemilu 2024.”

Perlu Edukasi Politik yang Cerdas

Melihat, merasakan, mengalami riuhnya para (padahal masih bakal calon) kandidat, terutama Capres, dengan model “soft and hard kampanye hitam,” yang sekarang terjadi, agaknya perlu diminimalisir, bahkan ditenggelamkan, sebelum membesar. Jangan tunggu lakukan itu, saat masa kampanye resmi selama tiga bulan (akhir 2023-awal 2024).

Selain itu, Pemerintah, dhi. Menko Polkam dan Kemeninfo, KPU, dan Bawaslu, Media wajib dan terus menerus tanpa lelah melakukan edukasi publik tentang keindahan, kehormatan, kesukacitaan demokrasi serta berdemokrasi berdasarkan pilar-pilar pemersatu Bangsa, Negara, Rakyat Indonesia.

Pada konteks edukasi tersebut, sekaligus sebagai proses membangun kesadaran bersama bahwa Pemilu 2024 menjadi momentum menumbuhkan kesadaran partisipasi masyarakat, semakin menyadari pluralisme, kebhinnekaan, dan menerima berbagai perbedaan sebagai “Satu Kesatuan Berbangsa dan Bernegara.”

Dengan itu, masyarakat semakin cerdas dan berani menolak anasir-anasir jahat yang mengusung politik identitas dengan varian-variannya pada Pemilu dan Pilpres 2024.

Cukuplah

Opa Jappy | Suara PK

Dies Natalis

Lembaga Edukasi dan Advokasi Publik

Indonesia Hari Ini

10 Juni 2022