Selamat pagi

Beberapa hari terakhir, setelah HAMAS membantai Warga Sipil Israel, kemudian mendapat tindak Pembalasan (dan ada kemungkinan, Gaza di bawah kendali Israel seutuhnya), sejumlah orang di Negeri Tercinta, tadinya menaikkan puja dan puji, memuji serta memuja HAMAS; kini meraung-raung tentang penderitaan rakyat HAMAS.

Orang Indonesia, sangat banyak, seakan terluka parah berdarah akibat peluru Israel; mereka kesakitan, demo, mencaci, bahkan menaikkan doa-doa kutuk (anek juga, Sang Khalik diajak untuk ikut membenci dan mengutuk). Agaknya di Indonesia, sadar atau tidak, telah ada agen-agen Hamas, Isis, Taliban, dan sejenis dengan itu.

Mereka inilah Lebah Bising di NKRI, yang selalu buat ramai di Negeri Tercinta; mereka yang meraung-raung jika ada perang di dunia lain sana; mereka pula yang berdarah dan merasa sakit jika Hamas terluka, Muslim Uighur (khususnya yang teroris) tewas, atau pun Rohingya tercabut nyawamya. Itulah mereka, yang saya sebut sebagai Orang Indonesia Sakit Kritis dan Krisis Identitas.

Catatan Mini tentang Mencari Identitas

Setiap orang, siapa pun dia, jika semuanya normal, maka (akan) mengalami periode (atau proses, dan sering disebut rentang) pertumbuhan dan perkembangan; itu terjadi atau berlangsung dari lahir hingga, menikmati hidup dan kehidupan hingga segalanya berakhir di titik akhir yaitu kematian. Semua periode dan rentang petumbuhan dan perkembangan manusia tersebut, mempunyai karakteristiknya masing-masing; ada hubungan sebab-akibat; serta mendapat pengaruh dari sikon luar dirinya.

Pada umumnya seseorang (akan dan seharusnya) mencapai beberapa peran tertentu, misalnya memahami tugas dan peran sebagai manusia dewasa; memahami peran sosial dalam perbedaan gender; mempunyai hubungan baru dan matang dengan teman sebaya, pria maupun wanita; menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuh secara efektif; perilaku sosial yang bertanggung jawab dan kemandirian pada hampir semua bidang hidup dan kehidupan.

Selain itu, aspek-aspek yang ada dalam rentang pertumbuhan dan perkembangan seseorang, umumnya meliputi (i) aspek fisik; berhubungan dengan anggota tubuh, bertambah besar, berat badan, pertambahan usia, menjadi kuat, dan lain-lain; adanya rasa aman karena mendapat perhatian dan perlindungan fisik, (ii) aspek psikologis; adanya perkembangan dan kedewasaan kepribadian, berpikir, serta berani mengambil keputusan dan bertanggungjawab, (iii) aspek intelektual; adanya proses belajar sehingga mengalami pertambahan pengetahuan atau bertambah pintar; wawasan yang terbuka; adanya kemampuan matematis; bahasa; dan analisa, seni, dan lain-lain, (iv) aspek sosial; mempunyai interaksi sosial dengan orang lain; pergaulan dalam dan di luar kelompok; adanya kawan dan sahabat, dan seterusnya, (v) aspek spiritual; belajar mengenal TUHAN Allah, serta tampilan hidup dan kehidupan etis yang baik, dan lain-lain

Semua aspek pertumbuhan dan perkembangan (i-iv) itu, terjadi (seiring sejalan, dan tak boleh terjadi hanya sebagian) sehingga seseorang tumbuh kembang menjadi dewasa. Dan kedewasaan itu, bisa disebut, dewasa sosial, fisik, psikologi, intelektual, iman, dan lain sebagainya. Bersamaan dengan itu, seseorang pada usia biologis tertentu (yang belum tentu setara dengan usia psikologis, kemampuan intelektual, serta kebebasan interaksi sosial, dan lainnya), misalnya 5/6 – belasan tahun (tapi, kadang-kadang ada orang yang hingga usia puluhan tahun), mulai mencari jati atau identitas diri yang berkiblat pada sesuatu yang di luar dirinya.

Katakanlah, seseorang dari 5/6/7 tahun hingga remaja akhir (atau awal masa dewasa, misalnya di usia 17-21 tahun) terpukau dengan ‘peer groupnya’ (harus menyesuaikan diri dengan standar dalam penampilan, berbicara dan berperilaku seperti yang ditetapkan oleh kelompok; karena takut akan kehilangan dukungan dari anggota-anggota kelompok, mereka berusaha menyesuaikan dengan baik bahkan kadang-kadang berlebihan) orang dewasa yang sangat berpengaruh di sekitarnya, terbiasa dengan cerita, dongeng, dan komik (heroik, super hero, sosok jagoan), hidup bersama dengan sosok-sosok yang dinilai kuat, hebat, jagoan; maka mereka (akan) menjadikan sosok-sosok itu (yang imaginer maupun nyata) sebagai idola serta kiblat (gaya, style) hidup dan kehidupan. Itu adalah masa mencari dan menyesuaikan diri sebagai ‘identitas;’ penyesuaian ini (jika tanpa pendampingan orang dewasa), maka akan menjadi dewasa sesuai dengan sosok-sosok imaginer atau pun nyata tersebut.

Tentang Pahlawan

Pahlawan, hero, super hero, apa pun sebutannya, menunjuk pada seseorang atau orang ‘yang berani melawan;’ ia memimpin, memotivasi, membangkitkan semangat, bahkan memberi teladan agar orang-orang melawan sesuatu.

Sesuai pengembangan makna, pahlawan tak (lagi) berhubungan serta dihubungkan dengan hal-hal fisik, misalnya perkelahian, pertempuran, perang, dan sejenisnya. Melainkan, berhubungan juga dengan hal-hal soft, misalnya pendidikan, lingkungan, serta bidang-bidang hidup dan kehidupan lainnya.

Dengan demikian, mudah dipahami bahwa ada julukan atau pun gelar seperti Pahlawan Kemerdekaan, Pahlawan Lingkungan, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, Pahlawan Cinta, dan lain sebagainya. Jadi, sebetulnya, setiap orang bisa menjadi pahlawan untuk masyarakat, komunitas, orang lain, atau pun diri sendiri.

Pada konteks  kekinian waktu, seseorang (bisa) menjadi pahlawan karena keberhasilan dan kemampuan memimpin, memotivasi, membangkitkan semangat, serta memberi teladan agar orang-orang melawan sesuatu. Misalnya memperbaiki kelakuan, disiplin, merobah keadaan, dan menata sesuatu sehingga lebih baik dari keadaan semula.

Pada konteks ‘zaman now,’ dikala keteladanan nyaris punah, harus membayar untuk mendapat motivasi dari para motivator, semangat kebersamaan semakin pudar, maka pahlawan dan kepahlawanan pun sulit muncul. Orang lebih suka berjuang untuk diri sendiri dan kelompoknya yang terbatas, dan merasa serta menilai diri sebagai pahlawan. Padahal, pahlawan dan kepahlawanan itu karena karyanya nyata, terlihat, dan bermanfaat untuk masyarakat atau pun orang banyak.

Selanjutnya?

Melompat ke konteks kekinian, kira-kira 10 tahun terakhir, di Negeri Tercinta, pada diri banyak Orang Indonesia, agaknya terjadi pergeseran makna (pahlawan), perubahan kiblat diri, serta mencari dan menemukan identitas (sosok yang dicontoh, diteladani, di-kiblat-kan) sesuai dengan basis ajaran agama, idiologi, serta kemampuan (dan kehebatan) perlawanan; perlawanan terhadap orang-orang yang berbeda (menurut ajaran, agama, iman dan idiologi), kemapanan, Negara, Institusi, dan lain sebagainya.

Sehingga, walaupun di Negeri Tercita ada ratusan (atau bahkan mencapai ribuan) Pahlawan Nasional (dan juga lokal) tapi karena ‘mereka semua beda’ menurut ajaran agama dan idiologi, maka sangat tak patut menjadi hero atau pun pahlawan.

Tak sedikit Orang Indonesia yang ‘tidak mengakui’ jasa-jasa para Pahlawan Nasional; karena menurut mereka, tidak cukup dan pas sebagai pahlawan. Sehingga, bagi mereka, harus mencari pahlawan (lihat tulisan miring di atas), hero, sosok kiblat yang baru; dan benar-benar sesuai dengan ajaran agama serta idiologi.

Bersamaan dengan itu, di Negeri Tercinta, muncul barisan sakit hati, oposisi (dengan narasi serta orasi politik kebencian), tokoh agama, dan lain-lain menampilkan diri sebagai ‘Pahlawan Baru,’ dengan Narasi serta Orasi, ‘Aku Bisa Melawan, Aku Terbaik, Semua yang lain Salah.

Kemudian, berusaha menjadi Pusat di Luar Kekuasaan; kemudian ‘bermain-main di area psikologis orang-orang sudah krisis (dan sakit kritis) identitas. Selanjutnya, orang-orang (sakit) krisis dan kritis identitas itu, menyambut orasi serta narasi para ‘Pahlawan Baru’ tersebut sebagai ‘My Hero, My Kiblat, The Great One, Sosok Super, dan lain sebagainya.’

Dan, dari sikon itulah, sosok-sosok seperti Si Kumis, Kebo, Brizieq, Jenderal Kancil, Say Linglung, Stone Gayrong, Harum Bau, Raden Amis, Hitler, Teroris, dan kawan-kawan menjadi idola, pahlawan, serta kiblat.

Tidak cukup di situ, orang-orang (sakit) krisis dan kritis identitas tersebut, juga menjadikan Osama bin Laden, Isis, Hamas, Taliban, Hitler, Putin, Teroris, dan lain-lain sebagai contoh terbaik sebagai ‘Orang-orang Hebat yang Mengalahkan dan Menang,’ (dan dirinya mencotoh atau menjadi seperti orang-orang yang mengalahkan dan menang tersebut); mereka tidak peduli terhadap kejahatan, kebiadaban, serta amoral yang dilakukan oleh Yang Dicontohkan tersebut.

Jangan Heran dan Bingung

So, jika sekarang ini, ada sejumlah Orang Indonesia, yang kemarin, memuji serta memuja Hamas; sekarang memuja dan memuji Taliban, maka itu sesuatu yang bukan kejutan atau hal baru.

Mereka adalah orang-orang (sakit) krisis dan kritis identitas; mereka ada di berbagai strata, sub-suku, suku, dan berbagai latar belakang lainya.

Jadi, banyak Orang Indonesia yang sakit kritis; maka hanya ada dua pilihan yaitu mengobati mereka atau jika tak mau diobati, maka suruh pindah dari NKRI.

Cukuplah

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini
Editor, KMM, Bangkok Thailand