download (1)

Cianjur, Jawa Barat | Pekan lalu, Organisasi Meteorologi Dunia  atau WMO [Note: Tahun 1873, berdiri International Meteorological Organization; tahun 1950, IMO berubah nama menjadi World Meteorogical Organization. Sebagai badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meteorologi, cuaca dan iklim), hidrologi dan geofisika. Berpusat di Jenewa, Swiss], mengingatkan, mulai Juli/Agustus 2023 hingga lima tahun ke depan akan menjadi periode terpanas di bumi. Pemicu utamanya adalah El Nino; dampaknya, suhu global lebih tinggi, sangat mungkin mencapai derajat panas yang ekstrim.

El Nino dan La Nina

Entah mengapa orang Spanyol menamakan perubahan suhu (yang) ekstrem sebagai El Nino (harfiah, anak laki-laki Allah) dan La Nina (harafiah, anak perempuan Allah); keduanya sudah mendunia.

El Nino merupakan perubahan suhu permukaan laut, bahkan jauh di atas kondisi normal. Dampaknya, terjadi perubahan cuaca secara ekstrem atau perubahan iklim di berbagai wilayah dunia.

El Nino mempunyai ‘kembaran’ sekaligus antitesis, yaitu La Nina; yang juga sering terjadi. Jika El Nino merupakan menaikkan suhu atau memanaskan; maka La Nina, terjadi penurunan suhu atau mendinginkan.

La Nina ibarat rem; menahan suhu Bumi yang terus menaik. Walau, kadang, di banyak area, La Nina tak mampu menahan efek gas rumah kaca (akibat ulah manusia) yang menyebabkan pemanasan global secara masif. Ketidakmampuan La Nina nampak dari laporan WMO bahwa delapan tahun terakhir ialah tahun terhangat yang pernah tercatat di bumi. Dalam artian efek pendinginan La Nina tidak secara signifikan menurunkan suhu Bumi.

Tragisnya, El Nino dan La Nina tidak muncul atau terjadi bersamaan di/pada suatu wilayah; keduanya selalu bergantian; durasinya sekitar 4-8 tahun. Jadi, mau atau tidak, dirimu dan diriku, terpaksa serta terpaksa menyambut El Nino. Dan, berdampingan serta menerima risiko dampak yang ditimbulkannya.

Dengan itu, seturut prediksi WMO, (akan) terjadi perubahan suhu, menaik lebih tinggi, cepat, perubahan iklim, serta kekeringan ekstrem. Indonesia, Negeri Khatulistiwa, juga mengalami ekses, mungkin lebih parah dari wilayah lain; akan terjadi kekeringan di Tanah Air

El Nino Politik

Indonesia, pada tahun 2024, akan melakukan Pemilihan Umum. Kegiatan untuk memilih anggota Parlemen, Presiden/Wakil Presiden, dan lainnya. Tapi, “suhu politik” sudah memanas sejak akhir tahun lalu; dan kini semakin menaik.

Ini dia, “suhu politik” tak bisa diukur oleh termometer Celcius, Reamur, Fahrenheit, dan Kelvin. Namun, dampaknya sangat terasa. Bahkan, bisa juga, membuat gerah, kadang bikin sesak napas, memunculkan amarah yang tak jelas.

Sehingga, jika tak terampil jaga diri, maka menaiknya suhu politik membuat Politisi dan rombongan  pendukungnya, bukan saja alami berbagai penyakit tubuh melainkan gangguan kesehatan mental.

Lebih parah lagi, mereka yang mengalami gangguan mental tersebut menebarkan orasi dan narasi kebencian, sentimen SARA, dan penistaan terhadap lawan politik.

Keparahan tersebut, akan semakin akut dan gila jika partai-partai politik akan mulai menyalakan mesin untuk demi berlomba merebut dukungan dan aspirasi publik; mesin-mesin, juga robot, tanpa otak dan logika waras, serta lebih kedepankan otot dari otak.

Bayangkanlah apa yang terjadi. El Nino Politik Tak Khan Berakhir.

Nantinya, pelan tapi pasti, sepertinya prosedur tetap di Negeri Tercinta, (akan) muncul orasi dan narasi bahwa, “Pemilihan Umum di Indonesia tak pernah lepas dari kecurangan. Pesta demokrasi lima tahunan di Republik ini selalu diwarnai kecurangan, termasuk  lima kali penyelenggaraan Pemilu sebelumnya.”

Agaknya, seturut pengalaman saya selama ini, mengenal Pemilu sejak tahun 1971, kecurangan yang terjadi tersebut bukan halusinasi. Kecurangan lebih banyak dilakukan masyarakat dan parpol peserta pemilu, bahkan Negara sebagai penyelenggara. Silakan membantah saya.

Sudah bukan rahasia bahwa kecurangan yang remeh-temeh dan tiada berpola, melainkan kecurangan yang bersifat masif, sistematis, bahkan terstruktur. Dilakukan dengan aneka bentuk, termasuk intervensi, atau penyalahgunaan kewenangan. Lihatlah jejak digital, kasus suap yang melibatkan anggota KPU demi meloloskan politikus yang menjadi calon legislatif agar ditetapkan menjadi anggota DPR.

Padahal, publik atau rakyat tak ingin negara ini dipimpin dan dikelola orang-orang yang merupakan produk dari Pemilu yang dipenuhi kecurangan. Jadi?

Solusi sederhananya adalah langkah serius dan konkret untuk meniadakan kecurangan pemilu. Bukan menunggu La  Nina Politik

Opa Jappy | Suara PKR, Indonesia Hari Ini