IMG-20210824-WA0091

Saya aja kita semua lihat video dan baca Artikel; kemudian Berdoa untuk Bangsa dan Kesembuhan Orang-orang yang Sakit Kritis.

Banyak Orang Indonesia Sakit Kritis oleh Opa Jappy

Beberapa hari terakhir, setelah Tali Ban berkuasa di Kabul (walau kini 6 Provinsi di Afghan telah direbut oleh pasukan rakyat dan Warlord), sejumlah orang di Negeri Tercinta, menaikan puja dan puji memuji serta memuja Taliban. Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang yang jelang Lebaran 2021 memuja dan memuji Hamas di Gaza (walau luluh lantaki kena bom Israel), sebagai super hero.

Agaknya di Indonesia, sadar atau tidak, telah ada agen-agen Hamas, Isis, Taliban, dan sejenis dengan itu. Mereka inilah Lebah Bising di NKRI, yang selalu buat ramai di Negeri Tercinta; mereka yang meraung-raung jika ada perang di dunia lain sana; mereka pula yang berdarah dan merasa sakit jika Hamaz terluka, Muslim Uighur (khususnya yang teroris) tewas, atau pun Rohingya tercabut nyawamya. Itulah mereka, yang saya sebut sebagai Orang Indonesai Sakit Kritis dan Krisis Identitas.

Catatan Mini tentang Mencari Identitas

Setiap orang, siapa pun dia, jika semuanya normal, maka (akan) mengalami periode (atau proses, dan sering disebut rentang) pertumbuhan dan perkembangan; itu terjadi atau berlangsung dari lahir hingga, menikmati hidup dan kehidupan hingga segalanya berakhir di titik akhir yaitu kematian. Semua periode dan rentang petumbuhan dan perkembangan manusia tersebut, mempunyai karakteristiknya masing-masing; ada hubungan sebab-akibat; serta mendapat pengaruh dari sikon luar dirinya.

Pada umumnya seseorang (akan dan seharusnya) mencapai beberapa peran tertentu, misalnya memahami tugas dan peran sebagai manusia dewasa; memahami peran sosial dalam perbedaan gender; mempunyai hubungan baru dan matang dengan teman sebaya, pria maupun wanita; menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuh secara efektif; perilaku sosial yang bertanggung jawab dan kemandirian pada hampir semua bidang hidup dan kehidupan.

Selain itu, aspek-aspek yang ada dalam rentang pertumbuhan dan perkembangan seseorang, umumnya meliputi (i) aspek fisik; berhubungan dengan anggota tubuh, bertambah besar, berat badan, pertambahan usia, menjadi kuat, dan lain-lain; adanya rasa aman karena mendapat perhatian dan perlindungan fisik, (ii) aspek psikologis; adanya perkembangan dan kedewasaan kepribadian, berpikir, serta berani mengambil keputusan dan bertanggungjawab, (iii) aspek intelektual; adanya proses belajar sehingga mengalami pertambahan pengetahuan atau bertambah pintar; wawasan yang terbuka; adanya kemampuan matematis; bahasa; dan analisa, seni, dan lain-lain, (iv) aspek sosial; mempunyai interaksi sosial dengan orang lain; pergaulan dalam dan di luar kelompok; adanya kawan dan sahabat, dan seterusnya, (v) aspek spiritual; belajar mengenal TUHAN Allah, serta tampilan hidup dan kehidupan etis yang baik, dan lain-lain

Semua aspek pertumbuhan dan perkembangan (i-v) itu, terjadi (seiring sejalan, dan tak boleh terjadi hanya sebagian) sehingga seseorang tumbuh kembang menjadi dewasa. Dan kedewasaan itu, bisa disebut, dewasa sosial, fiski, psikogi, intelektual, iman, dan lan sebagainya. Bersamaan dengan itu, seseorang pada usia biologis tertentu (yang belum tentu setara dengan usia psikologis, kemampuan intelektual, serta kebebasan interaksi sosial, dan lainnya), misalnya 5/6 – belasan tahun (tapi, kadang-kadang ada orang yang hingga usia puluhan tahun), mulai mencari jati atau indentitas diri yang berkiblat pada sesuatu yang di luar dirinya.

Katakanlah, seseorang dari 5/6/7 tahun hingga remaja akhir (atau awal masa dewasa, misalnya di usia 17-21 tahun) terpukau dengan ‘peer groupnya’ (harus menyesuaikan diri dengan standar dalam penampilan, berbicara dan berperilaku seperti yang ditetapkan oleh kelompok; karena takut akan kehilangan dukungan dari anggota-anggota kelompok, mereka berusaha menyesuaikan dengan baik bahkan kadang-kadang berlebihan) orang dewasa yang sangat berpengaruh di sekitarnya, terbiasa dengan cerita, dongeng, dan komik (heroik, super hero, sosok jagoan), hidup bersama dengan sosok-sosok yang dinilai kuat, hebat, jagoan; maka mereka (akan) menjadikan sosok-sosok itu (yang imaginer maupun nyata) sebagai idola serta kiblat (gaya, style) hidup dan kehidupan. Itu adalah masa mencari dan menyesuaikan diri sebagai ‘identitas;’ penyesuaian ini (jika tanpa pendampingann ornag dewasa), maka akan menjadi dewasa sesuai dengan sosok-sosok imaginer atau pun nyata tersebut.

Tentang Pahlawan

Pahlawan, hero, super hero, apa pun sebutannya, menunjuk pada seseorang atau orang ‘yang berani melawan;’ ia memimpin, memotivasi, membangkitkan semangat, bahkan memberi teladan agar orang-orang melawan sesuatu.

Sesuai pengembangan makna, pahlawan tak (lagi) berhubungan serta dihubungkan dengan hal-hal fisik, misalnya perkelahian, pertempuran, perang, dan sejenisnya. Melainkan, berhubungan juga dengan hal-hal soft, misalnya pendidikan, lingkungan, serta bidang-bidang hidup dan kehidupan lainnya.

Dengan demikian, mudah dipahami bahwa ada julukan atau pun gelar seperti Pahlawan Kemerdekaan, Pahlawan Lingkungan, Pahlawn Tanpa Tanda Jasa, Pahlawan Cinta, dan lain sebagainya. Jadi, sebetulnya, setiap orang bisa menjadi pahlawan untuk masyarakat, komunitas, orang lain, atau pun diri sendiri.

Pada konteks ini, dalam kekinian waktu, seseorang (bisa) menjadi pahlawan karena keberhasilan dan kemampuan memimpin, memotivasi, membangkitkan semangat, serta memberi teladan agar orang-orang melawan sesuatu. Misalnya memperbaiki kelakuan, disiplin, merobah keadaan, dan menata sesuatu sehingga lebih baik dari keadaan semula.

Pada konteks ‘zaman now,’ dikala keteladanan nyaris punah, harus membayar untuk mendapat motivasi dari para motivator, semangat kebersamaan semakin pudar, maka pahlawan dan kepahlawanan pun sulit muncul. Orang lebih suka berjuang untuk diri sendiri dan kelompoknya yang terbatas, dan merasa serta menilai diri sebagai pahlawan. Padahal, pahlawan dan kepahlawanan itu karena karyanya nyata, terlihat, dan bermanfaat untuk masyarakat atau pun orang banyak.

Selanjutnya?

Melompat ke konteks kekinian, kira-kira 10 tahun terakhir, di Negeri Tercinta, pada diri banyak Orang Indonesia, agaknya terjadi pergeseran makna (pahlawan), perubahan kiblat diri, serta mencari dan menemukan identitas (sosok yang dicontoh, diteladani, di-kiblat-kan) sesuai dengan basis ajaran agama, idiologi, serta kemampuan (dan kehebatan) perlawanan; perlawanan terhadap orang-orang yang berbeda (menurut ajaran, agama, iman dan idiologi), kemapanan, Negara, Institusi, dan lain sebagainya.

Sehingga, walaupun di Negeri Tercita ada ratusan (atau bahkan mencapai ribuan) Pahlawan Nasional (dan juga lokal) tapi karena ‘mereka semua beda’ menurut ajaran agama dan idiologi, maka sangat tak patut menjadi hero atau pun pahlawan. Tak sedikit Orang Indonesia yang ‘tidak mengakui’ jasa-jasa para Pahlawan Nasional; karena menurut mereka, tidak cukup dan pas sebagai pahlawan.

Sehingga, bagi mereka, harus mencari pahlawan, hero, sosok kiblat yang baru; dan benar-benar sesuai dengan ajaran agama serta idiologi.

Bersamaan dengan itu, di Negeri Tercinta, muncul barisan sakit hati, oposisi (dengan narasi serta orasi politik kebencian), tokoh agama, dan lain-lain menampilkan diri sebagai ‘Pahlawan Baru,’ dengan Narasi serta Orasi, ‘Aku Bisa Melawan, Aku Terbaik, Semua Salah. Kemudian, berusaha menjadi Pusat di Luar Kekuasaan; kemudian ‘bermain-main di area psikologis orang-orang sudah krisis (dan sakit kritis) identitas. Selanjutnya, orang-orang (sakit) krisis dan kritis identitas itu, menyambut orasi serta narasi para ‘Pahlawan Baru’ tersebut sebagai ‘My Hero, My Kiblat, The Great One, Sosok Super, dan lain sebagainya.’

Dan, dari sikon itulah, sosok-sosok seperti Si Kumis, Kebo, Brizieq, Jenderal Kancil, Say Linglung, Stone Gayrong, Harum Bau, Raden Amis, Hitler, Teroris, dan kawan-kawan menjadi idola, pahlawan, serta kiblat.

Tidak cukup di situ, orang-orang (sakit) krisis dan kritis identitas tersebut, juga menjadikan Osama bin Laden, Isis, Hamas, Taliban, dan lain-lain sebagai contoh terbaik sebagai ‘Orang-orang Hebat yang Mengalahkan dan Menang,’ (dan dirinya mencotoh atau menjadi seperti orang-orang yang mengalahkan dan menang tersebut); mereka tidak peduli terhadap kejahatan, kebiadaban, serta amoral yang dilakukan oleh Yang Dicontohkan tersebut.

Jangan Heran dan Bingung

So, jika sekarang ini, ada sejumlah Orang Indonesia, yang kemarin, memuji serta memuja Hamas; sekarang memuja dan memuji Taliban, maka itu sesuatu yang bukan kejutan atau hal baru.

Mereka adalah orang-orang (sakit) krisis dan kritis identitas; mereka ada di berbagai strata, sub-suku, suku, dan berbagai latar belakang lainya.

Jadi, banyak Orang Indonesia yang sakit kritis; maka hanya ada dua pilihan yaitu mengobati mereka atau jika tak mau diobati, maka suruh pindah dari NKRI.

Cukuplah

VKBA Cipanas, 22 Agustus 2021

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini



IMG_20190808_082045


TALIBAN, AFGHANISTAN, DAN INDONESIA

SUMANTO AL QURTUBY ; Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals; dan Kontributor Middle East Institute, Washington DC

KOMPAS, 3 September 2021

Sejumlah kelompok agama dan elite politik di Indonesia tampak kegirangan dengan keberhasilan milisi Taliban mengontrol dan mengambil alih kekuasaan di Afghanistan.

Mereka juga mendesak Pemerintah RI untuk segera mendukung rezim Taliban. Entah apa yang ada di benak mereka. Padahal, Taliban memiliki sejarah dan reputasi sangat buruk dalam menjalankan roda kepolitikan dan pemerintahan yang membuat rakyat Afghanistan ketakutan dan hidup dalam penderitaan lahir-batin.

Fakta bahwa ratusan ribu warga Afghanistan mencoba kabur dari negara mereka sejak Taliban mengambil alih kekuasaan menunjukkan apa atau siapa “jati diri” Taliban sesungguhnya. Jelas bahwa rakyat Afghanistan trauma terhadap rezim Islamis-fundamentalis Taliban saat lima tahun (1996-2001) berkuasa, yang penuh dengan kebiadaban dan ketidakmanusiawian. Dengan jatuhnya kembali Afghanistan ke tangan Taliban, mimpi buruk dan drama horor terbayang di depan mata mereka.

Selama kekuasaan rezim Taliban yang disokong Pakistan dan Al Qaeda, Afganistan (oleh Taliban diberi nama Emirat Islam Afghanistan) menjelma jadi “neraka” dunia mengerikan. Bahkan Korea Utara jauh lebih baik ketimbang Afghanistan di masa Taliban. Kemiskinan, kelaparan, dan malnutrisi merajalela. Kekerasan demi kekerasan tak pernah berhenti. Perang sipil antarfaksi Islam dan kelompok suku terus berkecamuk.

Pembantaian warga terjadi di mana-mana, bukan hanya terhadap kelompok minoritas etnis dan agama saja (misalnya, kelompok Syiah Hazara) tetapi juga terhadap siapa saja dan kelompok mana saja yang mereka anggap dan cap rival dan musuh pengganggu kekuasaan.

Penting untuk dicatat, rezim Taliban bukan hanya melakukan genosida atas manusia tetapi juga atas produk-produk spiritual-kebudayaan mereka (oleh Raphael Lemkin disebut “cultural genocide”) seperti aneka ragam karya seni, monumen bersejarah, peninggalan kepurbakalaan, atau bahkan bangunan tempat peribadatan karena dicap kafir-sesat, berpotensi menyekutukan Tuhan, tidak religius, atau dianggap menodai kemurnian akidah dan ajaran fundamental Islam yang mereka pegang dan yakini.

Selama berkuasa, rezim Taliban mengunci atau menggembok Afghanistan dari dunia luar. Mereka juga menolak bantuan makanan PBB untuk jutaan warga yang kelaparan. Mereka melarang media dan berbagai aktivitas publik yang dianggap berpotensi mengganggu kekuasaan. Berbagai aktivitas seni-budaya diharamkan termasuk musik, fotografi, lukisan, film, tarian, dan sebagainya.

Kaum perempuan jadi obyek paling mengenaskan. Mereka harus berpakaian tertutup rapat dari ujung kaki hingga ujung kepala, tak boleh pergi ke tempat umum sendirian tanpa ditemani muhrim (biasanya anggota keluarga), dilarang bekerja di sektor publik (kecuali dokter atau perawat untuk melayani pasien perempuan karena petugas medis laki-laki tak boleh menangani pasien perempuan), anak perempuan dilarang sekolah. Dan masih banyak lagi kisah pilu mereka. Jika melanggar aturan, mereka akan dihukum cambuk di hadapan publik.

Taliban juga menerapkan kebijakan scorched earth, yakni sebuah strategi untuk menghancurkan aset apa saja (kawasan, fasilitas publik, sumber-sumber ekonomi, industri, dan lainnya) yang dipandang memberi manfaat pihak lawan.

Karena itu jangan heran kenapa ketika Taliban berkuasa mereka memusnahkan banyak kawasan subur dan membakar rumah-rumah dan perkampungan penduduk. Ketika kekuasaan rezim Taliban rontok tahun 2001 karena digempur tentara AS setelah tragedi terorisme 9/11, kekerasan yang mereka lakukan tak serta-merta berhenti.

Berbagai aksi pengeboman dan terorisme keji untuk menggoyang pemerintah terus mereka lancarkan tanpa henti selama 20 tahun (2001–2021), memakan korban ribuan nyawa dan kerusakan fisik tak terhingga.

Sasaran terorisme (biasanya berupa aksi bom bunuh diri) bukan hanya aparat keamanan atau kantor pemerintahan, tetapi bisa siapa saja (warga sipil, jurnalis, anak-anak, perempuan, dan sebagainya) dan apa saja (termasuk madrasah dan masjid). Mereka disinyalir juga jadi pelaku pengeboman di area kerumunan massa yang ingin kabur di kompleks bandara Kabul.

Nafsu kekuasaan

Kenapa Taliban menerapkan politik totalitarian dan membabi buta yang membuat Afghanistan kian terperosok dan porak-poranda? Jawabannya sangat simpel. Karena mereka tak mengerti cara memimpin warga yang majemuk dan memerintah sebuah negara. Mereka tidak memiliki pengetahuan, wawasan, strategi, dan skill untuk memerintah dan mengelola sebuah negara-bangsa. Hanya nafsu kekuasaan yang mereka miliki.

Akhirnya, untuk mengontrol ketaatan publik serta membuat warga tunduk dan patuh, yang bisa mereka lakukan hanya meneror dan menakut-nakuti warga dengan berbagai peraturan dan hukuman keras atas nama “penegakan syariat Islam”. Jadi Taliban pada dasarnya adalah “para bandit berjubah agama.”

Taliban memang bukan kelompok cerdik-cendikia yang berwawasan luas tentang seluk-beluk ilmu pemerintahan, kepolitikan, perekonomian, atau kebudayaan.

Dalam sejarahnya, Taliban adalah sebuah gerakan politik-agama yang terdiri dari kumpulan murid/alumni madrasah (taliban berarti murid/ siswa) yang berafiliasi ke sekolah-sekolah Deobandi (tersebar di berbagai daerah di Asia Selatan) yang bercorak literalis-revivalis-konservatif yang sangat ketat, rigid, closed-minded dan ekstrem dalam memahami, menafsirkan, dan mempraktikkan teks, wacana dan ajaran keislaman.

Baca juga : Tak Ada Hitam Putih di Afghanistan

Lebih jelasnya, kelompok atau gerakan Taliban adalah kombinasi antara ajaran Islam revivalis-konservatif ala Deobandi, ideologi militan Islamisme ala Al Qaeda, dan norma sosial Pasthunwali, yakni gaya hidup tradisional masyarakat Pasthun karena mayoritas Taliban memang dari suku/etnik Pasthun.

Taliban dibentuk tahun 1994 oleh Muhammad Umar (1960-2013, dikenal sebagai Mullah Umar), mantan siswa madrasah Deobandi dan bekas milisi Mujahidin dalam perang Afghanistan – Soviet (1979–1989), yang kala itu baru berumur 34 tahun.

Taliban berhasil menguasai panggung kekuasaan Afghanistan setelah berhasil memanfaatkan situasi chaos dan konflik internal antar-faksi Islam lantaran kegagalan elite politik-agama Afghanistan capai kesepakatan pemerintah koalisi nasional pasca-hengkangnya Tentara Merah Soviet.

Konflik internal antarkelompok Islam dan elite politik-agama itu kemudian memicu meletusnya perang sipil mahadahsyat yang membuat Afghanistan untuk kesekian kali hancur lebur. Sekitar enam faksi Islam (Hizbul Islam Gulbuddin, Jamiat Islami, Ittihad Islam, Harakat Inqilab Islam, Hizbul Wahdat, dan Junbish Milli) saling berebut kekuasaan, saling mengkhianati, saling membunuh, dan saling memerangi.

Padahal, kelompok radikal Islamis ini (dengan dukungan AS) dulu bersatu-padu sebagai “pejuang mujahidin” melawan tentara Soviet. Begitu Soviet berhasil dipukul mundur, mereka sendiri yang ironisnya saling gempur demi kekuasaan.

Di saat Afghanistan kacau-balau dilanda perang sipil itulah, milisi Taliban muncul sebagai “kuda hitam” yang berhasil merangsek, mengontrol, dan menguasai dua pertiga wilayah Afghanistan dan mendeklarasikan diri pemerintahan baru dengan nama Emirat Islam Afghanistan tahun 1996.

Apakah dengan pendeklarasian pemerintah oleh Taliban ini dengan sendirinya perang sipil berhenti? Tentu saja tidak. Perang sipil antarkelompok (termasuk “Aliansi Utara” yang dibentuk warlord Ahmad Shah Massoud yang terdiri dari koalisi sejumlah kelompok etnis seperti Uzbek, Tajik, Hazara, Turki, Pasthun) terus berlanjut dan berkecamuk.

Mewaspadai “Indonistan”

Jadi, cerita elite Taliban yang sekarang dianggap mengkhianati klausul/kesepakatan perjanjian damai dengan pemerintah Afghanistan (dan pemerintah AS) bukan hal baru. Cerita pendongkelan/pengambilalihan kekuasaan yang kini Taliban lakukan setelah 20 tahun bergerilya juga bukan cerita baru. Ini hanya kisah lama yang kembali terulang.

Siapapun yang mempelajari sejarah Afghanistan akan tahu negeri di kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan ini diwarnai konflik, perang, dan perebutan kekuasaan bukan hanya dengan kelompok luar (non-Afghanistan), tetapi juga dengan sesama kelompok sosial di Afghanistan.

Aksi saling jegal, saling bunuh, dan saling memerangi antarkelompok, baik kelompok agama, ideologi, etnis, suku, klan, keluarga, maupun daerah (misalnya Afghanistan utara vs selatan) sudah lumrah terjadi. Jauh sebelum munculnya kelompok Islamis di panggung politik Afghanistan, kelompok-kelompok sosial lain sudah saling baku hantam demi kekuasaan.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari “drama horor” Afghanistan dan rezim militan Taliban? Satu hal yang tak boleh diabaikan: jangan meremehkan dan membiarkan kelompok agama berhaluan radikal-konservatif.

Meski awalnya kelompok ini barang kali hanya bergerak di wilayah non-politik (dakwah-keagamaan, moralitas publik, akidah/teologi, dan sebagainya), jika ada kesempatan, peluang, sokongan, dan dukungan pihak luar, mereka bisa menjelma jadi kelompok militan agama-politik yang kejam, ekstrem, dan radikal dalam menjalankan paham kepolitikan dan keagamaan.

Baca juga : Talibanisasi dan Kontestasi Perempuan

Anggota Taliban mungkin tidak ada di Indonesia. Tetapi umat Islam yang berhaluan, berwawasan, bermental, dan berpola-pikir ala Taliban cukup banyak populasinya. Mereka menyelinap dan tersebar di parpol, ormas, institusi pendidikan, lembaga dakwah, dan bahkan pemerintah.

Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat yang peduli dengan masa depan perdamaian, toleransi, dan kebinekaan bangsa dan negara Indonesia perlu waspada dengan gerak-gerik mereka. Aparat hukum dan aparat keamanan juga jangan sampai lengah. Jika tidak hati-hati dan tidak ditangani dengan tegas dan saksama, bukan tidak mungkin, mereka kelak bisa menjelma menjadi “Taliban Indonesia” dan menyulap negara ini menjadi “Indonistan”. ●

Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/03/taliban-afghanistan-dan-indonesia/