Ketika Bercerita | Dokpri

Cipanas, Jawa Barat | Seorang pendidik yang berpengaruh dari Amerika, David Reisman menyatakan bahwa, “Biarkan saya menceritakan kisah-kisah; bercerita adalah agen sosialisasi; mereka, pencerita, membayangkan dunia anak-anak, dengan demikian memberi baik bentuk dan batas ke memori dan imajinasinya.” Bercerita merupakan salah satu unsur budaya yang tertua, dan terus menerus dilakukan, sebagai bentuk pewarisan nilai-nilai kepada generasi berikut. Sejarah mengungkapkan bahwa bercerita mengalami penurunan setelah penemuan mesin cetak. 

Cerita, seseorang yang bercerita atau pencerita, biasanya bersyumber pada (i) input yang didapat sebelumnya, misalnya baca, dengar, lihat, (ii) sama sekali belum pernah dilihat, dipikirkan, didengar, ini  biasanya muncul pada saat interaksi dengan sesama. Sumber cerita yang pertama (i), umumnya bersifat epik, legenda, novel, komik, atau pun dongeng.

Jadi, sebetulnya, dongeng juga merupakan cerita, yang sekaligus (i) diberi muatan-muatan pesan moral, atau pun (ii) dikontekstualisasi oleh pencerita ke/dalam konteks kekinian ketika ia bercerita, misalnya masa/waktu, dan pendengar atau siapaa-saiapa yang mendengar. Jika itu yang terjadi, maka dongeng atau pun bercerita, tidak boleh asal mendongeng dan menceritakan, tanpa memperhatikan kronologisnya. 

Namun, sekitar 1900an, bercerita mengalami kebangkitan kembali, karena orang menyadari bahwa ada nilai-nilai terkandung di dalamnya. Cerita memiliki nilai yang membawa kesenangan, mengembangkan perasaan, persekutuan dengan masyarakat, memperbaiki sikap; cerita juga bisa sebagai perangkat yang mengatur kontrol sosial, membangkitkan antusiasme, imajinasi, dan instruksi.

Values of Storytelling

Bercerita merupakan metode yang paling mudah dan diterima pada KBM karena membangkitkan minat, perhatian, fokus, informasi, informasi dan   kenikmatan. Cerita dapat membantu memenuhi kebutuhan manusia untuk mencintai, memiliki, dan rasa aman. Cerita memberikan pengalaman yang memungkinkan pendengar menempatkan dirinya ke dalam situasi cerita, sehingga mengalami kegembiraan.

Bila dilihat dari sisi perkembangan peserta didik, cerita menawarkan kesempatan untuk membangun kepribadian; cerita menanamkan cita-cita yang tepat dengan menunjukkan perilaku membawa kebahagiaan, dan pilihan lain menyebabkan hasil yang sebaliknya. Cerita juga membuat emosi terangsang, sehingga seseorang menentukan tingkah laku berikutnya; cerita juga bisa menjelaskan konsep-konsep yang tidak jelas.

Problems of Storytelling [lihat di bawah]

Cerita, bisa dikatakan, mudah dilakukan oleh guru, namun tanpa disadari,  mereka salah melakukannya. Kesalahan itu menjadikan cerita kehilangan makna. Ada berbagai problem ketika guru bercerita, hal tersebut antara lain,

  1.  Membaca cerita bukannya mengatakan
  2.  Menggunakan bahasa yang tidak menjelaskan makna dalam cerita  
  3.  Memberikan banyak detail atau rincian
  4.  Menekankan hal-hal kecil, namun mengaburkan pesan dari cerita
  5.  Penyampaian cerita seperti hafalan dan otomatis
  6.  Tidak bercerita tapi “berkhotbah” dengan aplikasi; dan membiarkan pendengar menemukan pesan dari cerita secara alami
  7.  Bercerita pada saat peserta didik pasif dan bosan, bukan saat mereka antusias dan semangat
  8.  Menggunakan alat bantu visual sebagai penopang cerita, bukan ekspresi wajah dan gerakan tubuh
  9.  Penataan kronologis dan sistimatika cerita yang tak teratur

Principles of Effective Storytelling

Cerita yang baik adalah penuh aksi dan kehidupan; dan mempunyai daya tarik pada peserta didik siswa, kemudian mampu menangkap pesan serta instruksi dari dalamnya. Cerita yang baik mempunyai prinsip sebagai berikut,

Persiapan. Jika cerita sebagai salah satu metode mengajar, maka sebelum bercerita, guru perlu melakukan persiapan. Persiapan tersebut meliputi memilih cerita yang tepat, mengetahui alur cerita, termasuk asal usul ataupun historis cerita, serta kaitannya dengan mata pelajaran atau bahasan, mengetahui sikon peserta didik atau pendengarnya, dan alokasi waktu yang akan digunakan untuk bercerita. Cerita, juga mempunyai kerangka atau baigi, walau tak disebutkan oleh guru, pencerita, dan dosen; kerangka tersebut meliputi pengenalan, tubuh utama, dan aplikasi

Presentasi. Ketika  guru atau dosen memulai bercerita, pada saat yang sama, mereka mempersiapkan pendengar untuk mendengar cerita dengan penuh perhatian dan antusias. Hal itu bisa dilakukan dengan irama dan intonasi suara, kejelasan ucapan, kontak mata, dan bahasa tubuh. Bawahan kepribadian Anda sendiri untuk itu dari protagonis utama dari cerita. Menjaga terhadap gangguan dan engganggu seperti bermain dengan kacamata, bergoyang bolak-balik, atau gugup mondar-mandir.

Pesan Moral sesuai Kontekst Kekinian Pencerita Bercerita. 

So, dongeng bisa dilakukan pada (i) sebelum, sementara, setelah belajar atau membahas pokok bahasan, (ii) pada semua mata pelajaran, (iii) sebagai daya tarik atau pun umpan balik dan antusias peserta didiak pada saat sebelum dan sementara belajar.  

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini

Problems of Storytelling

  1. By reading the story instead of telling it 
  2. By using language which does not clearly communicate meaning
  3. By including too many details and “bogging down” a story
  4. By overemphasining minor details and thereby obscuring the basic implication
  5. By rote memorization which leads to a mechanical presentation
  6. By “sermonizing” the implication rather than letting it find its natural place in the story
  7. By offering the story in an atmosphere of stuffiness rather than empathetic enthusiasm
  8. By using visual aids as a crutch rather than training facial expressions and body movements to serve  as the primary visual support of the story

Gangel, Kenneth O.,  24 Ways Improve Your Teaching., USA Canada England: Victor Books, Publications Inc. 1986