https://assetd.kompas.id/OKrfxqZ3EkhFJUtiuD2IoPX8joQ=/1024x1245/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F10%2F20%2F20201020-H03-ADI-Peretasan-Aktivis-mumed_1603209779_png.png

 

Laporan Situasi Hak-hak Digital

Southeast Asia Freedom of Expression Network

Safenet

 
Ketika situasi politik menghangat, insiden serangan digital juga cenderung meningkat.  Ada 23 insiden serangan digital yang dilaporkan pada triwulan 2022. Situasi ini menunjukkan mendesaknya kebutuhan payung hukum untuk melindungi kelompok kritis dari serangan digital. 
  1. Masih ada gangguan akses internet terutama di kawasan timur Indonesia.
  2. Kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi di ranah digital
  3. Kekerasan berbasis gender online (KBGO).
  4. Serangan digital terjadi pada saat situasi politik menghangat, yaitu penolakan wacana perpanjangan jabatan Presiden Joko Widodo pada Maret 2022. Setidaknya ada enam mahasiswa yang mengalami peretasan akun Whatsapp dan media sosialnya sebelum ataupun saat sedang melakukan aksi.

https://assetd.kompas.id/-3pnOAs1MEVtQw803E9D41R4WLw=/1024x1276/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F02%2F18%2F20200218-NSW-Doxing-mumed_1582018569_png.png

Khusus untuk insiden keamanan digital, serangan digital sebanyak 23 insiden. Sementara itu, jika    berdasarkan pemantauan ada sebanyak 25 insiden. Bentuk insiden, di antaranya kebocoran data pribadi, peretasan, impersonasi, dan ancaman.  Peretasan juga dialami aktivis dan pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, Kamis (21/4/2022). Bivitri mengakui ada serangan digital terhadap akun Whatsapp miliknya. Selain itu, akun Instagram @bivitrisusanti juga tidak bisa diakses. Sejumlah data terkait identitasnya berubah, bahkan mengarah pada penjatuhan martabat seseorang.

Maraknya serangan terhadap jurnalis, aktivis, dan mahasiswa itu menunjukkan bahwa serangan digital bermotif politik masih saja terjadi. Merunut ke belakang, pada Februari 2022 juga terdapat insiden keamanan digital terkait aksi warga Desa Wadas yang menolak rencana penambangan batu di desa mereka. Akun-akun media sosial untuk melawan penambangan tersebut mengalami serangan. Begitu juga aktivis yang bersolidaritas pada perjuangan Desa Wadas. Pada saat Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) menggelar diskusi dugaan kekerasan di Desa Wadas, diskusi Zoom LP3ES mengalami serangan berupa kiriman gambar porno dan ujaran kebencian.

Serangan lain pada Februari 2022 terjadi pada Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim. Sasmito mengalami pengambilalihan pada akun Whatsapp, Instagram, dan Facebook. Dia juga menjadi korban disinformasi melalui Twitter dengan tuduhan mendukung pembubaran FPI, pembangunan bendungan di Purworejo, serta penangkapan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.

Maret 2022, jurnalis dari Jaring.id Abdus Somad dan Pemimpin Umum Jubi.id Victor Mambor juga mengalami peretasan pada ponsel dan akun Whatsapp. Victor menjadi korban upaya pengambilalihan akun Whatsapp meksipun pelaku tak sampai menguasai akun tersebut. Adapun nomor telepon Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay juga diretas dengan mengirim pesan tanpa dia ketahui.

https://assetd.kompas.id/lnXBsbEkWwwI1EoCzserv4czGOI=/1024x1265/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F03%2F07%2F20210307-H03-NSW-revisi-UU-ITE-mumed_1615130272_png.png

Sepanjang 2022, jumlah aduan kasus kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi di dunia maya

  1. Sembilan kasus ujaran kebencian, yaitu Pasal 45 Ayat (2), Pasal 28 Ayat (2)
  2. Empat kasus menyangkut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
  3. Pencemaran nama baik dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dan Pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 30 Ayat (3) UU ITE tentang Penjebolan Akses Internet, Pasal 48 Ayat (3) UU ITE tentang Transmisi Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik, serta Pasal 317 KUHP tentang Pemberatan pasal pencemaran nama baik.

Pendekatan hak asasi manusia

Direktur Eksekutif Safenet Damar Juniarto, 29 April 2022

  1. Untuk mengatasi persoalan pelanggaran hak-hak digital, perlu upaya bersama untuk memulihkan dunia digital. Kunci utama untuk dapat memulihkan ruang demokrasi dan praktik otoritarianisme digital adalah mengganti perspektif pendekatan terhadap teknologi informasi.
  2. Pendekatatan terhadap kemajuan teknologi informasi bukan dengan semata pendekatan keamanan. Pendekatan keamanan dinilai hanya akan menghasilkan pembatasan-pembatasan yang justru tidak akan mengembangkan demokrasi. Pendekatan keamanan justru menghalangi upaya warga untuk menyampaikan pendapat dan pikiran di ranah maya. Tak dapat dimungkiri yang terjadi saat ini adalah merebaknya ketakutan orang untuk bersuara kritis. Ini tidak memperluas demokrasi di ranah maya. Pendekatan keamanan harus diganti dengan pendekatan hak asasi manusia (HAM) atau pemenuhan hak konstitusional warga.
  3. Untuk menghadapi ancaman otoritarianisme digital di Indonesia, kelompok organisasi masyarakat sipil (OMS) perlu terus menguji regulasi-regulasi internet dan tindakan yang membatasi hak digital melalui jalur hukum. Batu uji hukum internasional bisa digunakan untuk mematahkan jeruji yang membatasi ruang gerak warga. Oleh karena itu, menurut Damar, UU ITE juga harus segera direvisi. UU ITE terbukti memuat sejumlah pasal bermasalah yang menjadi batu sandungan demokrasi.
  4. Orientasi pengaturan di dunia maya juga perlu berubah dan berpusat pada manusia (human-center approach), tidak semata pada teknologi informasi atau ekonomi digital. Selama ini, perusahaan-perusahaan teknologi raksasa menjalankan pemantauan (surveillance) marketing dengan melanggar hak-hak privasi warga. Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi juga mendesak untuk segera disahkan.
Terkait hal itu, revisi UU ITE sebenarnya sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022. Namun, hingga saat ini pembentuk UU belum membahasnya. Surat presiden (surpres) untuk membahas bersama revisi UU ITE sebenarnya sudah diserahkan kepada pimpinan DPR pada 16 Desember 2021.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, serta Presiden Joko Widodo berkomitmen segera menuntaskan revisi kedua UU ITE tersebut. Presiden menyerap aspirasi dari seluruh kalangan masyarakat terkait banyaknya korban yang jatuh akibat pasal karet dan multitafsir dalam UU ITE.
Oleh karena itu, pemerintah menargetkan revisi UU ITE tuntas pada April 2022. Tapi, belum ada rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk menentukan pembahasan bersama revisi UU ITE. Salah satu alasan pembahasan revisi UU ITE belum dimulai adalah karena Komisi I, yang punya lingkup tugas komunikasi dan informatika, masih memiliki pekerjaan rumah yang belum tuntas.
Pekerjaan rumah dimaksud, RUU Perlindungan Data Pribadi yang sejak 2020 hingga sekarang belum selesai dibahas. Terakhir, pembahasan RUU PDP kembali diperpanjang di Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022 ini. Revisi UU ITE tak bisa dibahas dengan tergesa-gesa. Sebab, banyak substansi penting yang harus dibahas dengan serius dan saksama. 
Sumber
 
DIAN DEWI PURNAMASARI, 3 Mei 2022