Sukabumi, Jawa Barat | Siapa yang pada mulanya bermain di Area Skisma Identitas dan Sentimen SARA, dalam upaya menjual diri sebagai Calon Presiden RI? Ya. Dirimu dan Diriku, dengan cara berpikir waras dan normal, mampu menjawab cepat serta tegas. “Benar!”  Jawaban Anda tepat.

Lalu, mengapa banyak orang dan media, termasuk Media Indonesia dan Metro TV, jadi gerah dan sewot ketika muncul perlawanan terhadap Politik Identitas dan Sentimen SARA; yang dinarasikan serta diorasikan oleh Bakal Calon Presiden dan Pendukungnya? Perlawanan tersebut, misalnya, dari

  • Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia, Laode Umar Bonte, “Tak pantas Anies Baswedan menjadi presiden Indonesia ialah putra-putra asli Indonesia yang memiliki darah keturunan dari Indonesia. Ia bukan putra asli Indonesia meski lahir dan besar di negeri ini. Nenek moyangnya berasal dari Arab. Bandingkan, Belanda menjajah Republik Indonesia , memiliki anak cucu dan lahir di Indonesia, tetapi mereka tetap saja penjajah, bukan bangsa Indonesia.”
  • Ketua Umum Partai X,  “Seluruh warga keturunan Tiongkok mendukung Presiden Jokowi dan akan ‘manut’ pada referensi Jokowi soal capres yang layak didukung nanti.”
  • Sangat banyak Nitizen Nasionalis, dengan cara masing-masing, tanpa komando menyebarkan foto, foto, artikel, opini anti politik identitas dan sentimen SARA

Semuanya tak salah; mereka bereaksi karena ada aksi sebelumnya; dan harus didukung semua pihak, demi Indonesia Emas. 

Jadi, suatu keharusan mutlak pada diri Anda dan saya melawan isue agama, etnisitas, golongan setiap kali Negeri Tercinta melakukan Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden.

Perlu diingat bahwa SARA menjadi bom waktu yang bisa menghancurkan jalinan persatuan sesama anak bangsa. Hanya dengan kesadaran dan komitmen di bawah payung Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, Negeri ini mampu memadamkan sumbu bom itu sehingga tak benar-benar meledak.

Isu SARA bisa menjadi pangkal musibah sudah dan terus tumbuh. Ia dijadikan senjata oleh para pemburu kekuasaan untuk memenangi persaingan dengan cara yang kotor. Mereka paham betul banyak masyarakat yang masih gampang diracuni sentimen agama, sentimen kedaerahan, ras, etnik, atau golongan. Mereka gunakan isu-isu rawan itu semata demi merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Tanda-tanda isu SARA tetap dijadikan senjata di Pemilu 2014 jelas terbaca. Di media sosial, para buzer tiada henti menebarkan narasi kebencian, Hoaks, hingga fitnah berbasis SARA. Kampanye hitam pun terus dilakukan untuk menghancurkan rival junjungan mereka. Celakanya lagi, para elite politik tak mau ketinggalan berlaku menyimpang.

Menggunakan SARA sebagai senjata untuk mendulang electoral jelas berbahaya. Ia hanya akan memantik polarisasi, menebalkan perpecahan. Siapa pun, dari kubu mana pun, pantang melakukan itu.

KPU dan tokoh-tokoh agama menyadari benar betapa besar daya rusak politisasi SARA dalam perebutan kekuasaan. Tak cuma tokoh-tokoh agama tentu saja, mencegah politisasi SARA perlu juga dilakukan bersama tokoh-tokoh masyarakat dan elite-elite politik.

Imbauan dari tokoh agama dan tokoh masyarakat tak akan maksimal jika elite politik tak punya komitmen yang sama. Pun dengan penegakan hukum, ia mutlak dikedepankan agar para pemain politisasi SARA jera. Memainkan SARA dalam politik ialah perilaku primitif. Kalau tak ingin disebut primitif, tinggalkan model berkompetisi dengan cara seperti itu.

Opa Jappy | Suara PKR, Media Indonesia

 

 

https://pedulikeadilanrakyat.com/politisasi-agama-penistaan-dan-merendahkan-agama/