Jakarta News

Kanal Indonesia Hari Ini

Terkini

Indonesia akan Panen Raya, “Meninggalkan Agama”

images-3

Ide-ide tentang kematian dan ketiadaan TUHAN; ketidakbergunaan agama-agama; dan penolakan terhadap agama-agama terus menerus merambah masuk ke dalam pola pikir manusia masa kini.

Selamat pagi

Cianjur, Jawa Barat | Kemarin Sore, menjelang malam, saya berada di Warung Kopi, istirahat sejenak, menanti dijemput teman. Naluri Jurnalistik saya tersentak, ketika mendengar beberapa orang berbicara sambil mengeluh. Intinya, “Ada yang melarang mereka menerima bantuan sosial dan bea siswa untuk anak-anak, padahal mereka sangat membutuhkan.”  Menarik! Saya mengorek informasi. Ternyata, bukan satu atau dua, tapi banyak.

Itulah satu dari antara jutaan Puncak Gunung Es Hubungan antar Umat Beragama di Indonesia. Hubungan yang tak normal dan tidak bermoral; konteks kekinian, di mana-mana, Agama sebagai Pisau Tajam Pembeda Masyarakat; memisahkan interaksi, membedah dan mengamputasi manusia dan kemanusiaan. Akibatnya, ada elite keagamaan, dengan ramah dan gambang menyampaikan orasi dan narasi sentimen SARA, penistaan, benci dan kebencian terhadap sesama manusia yang berbeda iman, kepercayaan, dan agama.

Lihatlah di Media Sosial, Ajaran Agama dan Sejumlah Penceramah Agama (terutama yang berlatar pindah agama), jadi dan menjadi bahan tertawaan publik, ejekan, dan lucu-lucuan bersama. Mengapa? Karena mereka menyampaikan hal-hal yang menunjukkan kebodohan cara beragama, penuh orasi dan narasi kebohongan, sok tahu, bahkan menjijikkan. Sehingga para pendengar, ketika mulai sadar dan terbangun logika berpikir serta akal sehatnya; akan meninggalkan cara beragama seperti itu.

Dengan model beragama seperti itu, saya justru melihat ke depan; di masa depan, tak berapa lama lagi, Indonesia (akan) panen raya “Orang-orang yang meninggalkan Agama;” mungkin, pindah atau berganti agama, sinis terhadap agama, atau arheis (atheis jadi pilihan di banyak Negara di Eropa, Timur Tengah, dan Amerika).

💕💕💕💕💕

Sinisme, berasal dari kata sinis (mengejek dan memandang rendah), merupakan pandangan atau pernyataan sikap (pemikiran, kata, dan tindakan) yang mengejek dan memandang rendah atau enteng terhadap sesuatu. Sinisme juga merupakan ketidakseimbangan pandangan; dalam arti hanya melihat sisi negatifnya saja, dan membuang hal-hal positif.

Jadi, pandangan sinis terhadap agama, menunjukkan suatu konsep pikir, melalui ketidakseimbangan pandangan, yang merendahkan nilai-nilai keilahian yang ada pada agama dan keberagamaan. Sepanjang atau dalam sejarah peradaban umat manusia, muncul atau ditemukan banyak orang yang berpendapat tentang ketidak-pentingnya agama (termasuk ajaran tentang adanya TUHAN dalam agama-agama). Misalnya,

Karl Marx, 1818-1883

Menurut Marx, perkembangan dan modernisasi telah memilah dan memisahkan masyarakat menjadi berbagai strata sosial; antara lain masyarakat maju, kaya, sejahtera, serta sengsara dan menderita. Pemilahan dan pemisahan itu dilakukan oleh para orang kaya dan berpendidikan, yang awalnya dalam rangka perbaikan masyarakat. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, pemilahan dan pemisahan itu, menjadi pintu masuk tindakan sewenang-wenang dan penindasan terhadap kaum miskin serta papa; dengan demikian, mereka tetap sengsara dan menderita. Melihat realitas tersebut, menurut Marx, kesengsaraan dan penderitaan, menjadikan manusia selalu berkeluh kesah dan memohon atau berisi permohonan belas kasihan. Dan keadaan itulah, mereka melarikan diri dari realitas hidup dan kehidupan dengan menciptakan atau memunculkan agama (dalam arti tindakan-tindakan yang bersifat doa-doa, nyanyian, teks-teks yang berisi penghiburan, dan lain-lain). Ketika manusia melakukan hal-hal tersebut, ia sejenak melupakan penderitaan dan kesengsaraannya. Tetapi, setelah itu, ia tetap pada keadaannya yaitu menderita dan sengsara. Jadi, agama adalah suatu bentuk permohonan dari makhluk yang penuh sengsara dan penderitaan. Agama merupakan roh yang tidak berjiwa; tidak mempunyai kekuatan apa pun untuk merubah keadaan manusia. Bagi Marx, agama adalah opium atau candu dalam dan untuk masyarakat; (sebagaimana sifat candu menjadikan orang atau pemakainya lupa pada penderitaan dengan adanya realitas semu atau impian pada saat kecanduan; mengikat dan membuat ketergantungan, kemudian merusak kehidupan), maka agama hanya membuat manusia terikat pada sesuatu yang tidak realita; menjadikan mereka bermimpi; serta mempunyai harapan pada ketiadaan dan kehampaan; semuanya menghancurkan hidup dan kehidupan manusia. Karena itu, jika manusia atau masyarakat ingin memperoleh kebahagiaan, kesejahteraan, kesetaraan, kebersamaan, maka ia atau mereka harus menghancurkan agama.

Ludwig Feurbach, tokoh arheis modern, 1804-1883

Menurutnya, ide tentang TUHAN pada hidup dan sejarah manusia merupakan suatu kekeliruan. Kodrat manusia ditentukan oleh akal budi, perasaan, dan kehendak; ketiga hal itu merupakan perkembangan alam. Menurut Feuerbach, agama mengajarkan manusia memisahkan dirinya dari alam. Oleh sebab itu, untuk kembali pada jati dirinya sebagai makhluk alam, maka manusia harus membuang ide tentang TUHAN.

Friedrich Nietze, 1884–1900

Menurut Nietze, manusia percaya kepada atau adanya TUHAN karena dirinya (mereka) mempunyai perasaan tidak mampu; atau karena ketidakmampuan dan kekurangan (kemiskinan) maka manusia percaya adanya TUHAN. Agama muncul pada sejarah masa lalu umat manusia, ketika peradabannya masih terbelakang atau belum maju; pada sikon itu hampir semua umat manusia percaya adanya TUHAN. Tetapi, ketika ada kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan, yang menghantar manusia pada kebebasan intelektual, kemerdekaan berpendapat, serta mempunyai kemampuan; maka manusia harus melepaskan dirinya atau membuang keterikatannya dengan agama.

Menurut Nietze, agama mengajarkan ide tentang TUHAN, padahal keberadaan-Nya tak nampak atau tidak ada; Ia adalah kehampaan, kosong. Karena itu, manusia harus mematikan ide adanya agama; sekaligus memancarkan kematian TUHAN dari dalam hidup dan kehidupannya, dan selanjutnya (manusia) harus membuang norma-norma moral yang diajarkan atau datang dari agama-agama.

Pandangan-pandangan sinis terhadap agama tersebut, memang merupakan produk masa lalu, pada perkembangan sejarah intelektual manusia, namun dampaknya masih terasa sampai kini.

Ide-ide tentang kematian dan ketiadaan TUHAN; ketidakbergunaan agama-agama; dan penolakan terhadap agama-agama terus menerus merambah masuk ke dalam pola pikir manusia masa kini.

Pengagungan terhadap hasil akal budi dan perkembangan iptek, sering kali menjadikan manusia ingin membuktikan segala sesuatu secara ilmiah. Dan ketika, ia atau mereka berhadapan dengan sesuatu yang hanya bersifat gejala-gejala (misalnya kehadiran TUHAN yang tak nampak, namun terasa gejala-gejala atau akibat kehadiran-Nya), yang tidak bisa dibuktikan secara konkret, maka disamakan dengan ketiadaan bukti ilmiah.

Karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, maka ia atau mereka menolak keberadaan agama dan TUHAN, walaupun identitas keagamaan masih melekat pada dirinya.

Orang-orang seperti Marx, Feurbach, dan Nietze, dan masih banyak lagi yang lain, ketika mendapat tantangan [terutama dari tokoh-tokoh dan pemimpin agama] karena pendapat dan konsep-konsepnya, dengan gampang menjawab bahwa jika TUHAN itu ada, biarlah Ia yang menghukum. Dengan demikian, mereka tetap bebas menyampaikan ide-idenya. Ide-ide mereka tidak pernah mati dan lenyap. Dan kenyataannya, karena TUHAN penuh dengan kasih dan pengampunan, maka orang-orang yang menolak keberadaan-Nya, tidak pernah mengalami malapetaka ataupun dilenyapkan dari muka Bumi; mereka tetap eksis, walaupun tidak peduli dengan Agama maupun TUHAN. Dengan demikian, mereka telah meninggalkan atau mewariskan virus dan racun mematikan pada hidup dan kehidupan manusia selanjutnya. Setelah era atau masa mereka, banyak orang masih mempertahankan atau mengikuti konsep dan pemikiran sinisme tersebut.

Pada masa kini, termasuk di Indonesia, tidak sedikit kaum muda, orang tua, mereka yang berpendidikan maupun tidak, walaupun tak secara terang-terangan, mengikuti pemikiran Marx, Feurbach, dan Nietze; tetapi mampu membangun konsep-konsep baru yang lebih dahsyat tentang penolakan terhadap agama-agama dan TUHAN. Dengan demikian, Marx, Feurbach, dan Nietze, walaupun telah lama meninggal, tetap melahirkan anak-anak dan murid-murid ideologis pada sepanjang sejarah umat manusia.

Ajaran-ajaran mereka menjadi suatu pegangan ataupun ideologi alternatif, ketika agama-agama tidak bisa (siap) menjawab persoalan dan serta memberi jalan keluar dari pergumulan hidup dan kehidupan umat manusia.

Hal tersebut, bisa muncul dari kaum agamawan maupun keberadaan manusia itu sendiri. Artinya, kaum agamawan bisa menjadikan umatnya menolak agama dan TUHAN, jika mereka menjadikan agama sebagai penghambat kemajuan serta kreativitas hidup dan kehidupan manusia.

Manusia bisa menolak agama, karena sebab-akibat tertentu. Artinya, jika ia atau mereka terus menerus berada dalam sikon penderitaan, kemelaratan, putus asa, dan tanpa pertolongan oleh siapa pun (termasuk dari umat yang taat beragama), maka melahirkan suatu sikap penolakan radikal terhadap agama-agama. Mungkin, pada awalnya hanya menolak manusia yang beragama, namun dalam perkembangan selanjutnya, menyebar menjadi anti agama dan TUHAN.

Opa Jappy | Suara PKR, Indonesia Hari Ini


Bebas Tak Beragama dan Berganti Agama, oleh Opa Jappy 10 Januari 2013  04:39 WIB

Lenteng Agung, Jakarta Selatan | Seorang rekan berkata, “Tidak usah lagi bahas makna dan arti agama, karena hampir semua orang Indonesia beragama dan pahami maknanya; …. yang diperlukan, adalah bebas tak beragama dan bebas berganti agama.”

Menarik, dan diriku juga memang, membenarkan hal tersebut. Karena (di negara ini) agama telah dijadikan elemen fundamental hidup dan kehidupan manusia manusia di Nusantara (walau ini hanya semboyan semu).

Maka, hampir semua orang terangsang serta terusik, jika dengar omongan tentang agama; apalagi jika merasa bahwa agamanya diomongin orang. Walau pemahamannya tentang agama-keagamaan hanya bersifat kulit-kulitan.

Bagaimana dengan adanya  ungkapan serta semboyan semu kebebasan beragama!?

Ungkapan tersebut memberikan arti luas yang meliputi membangun rumah ibadah dan berkumpul, menyembah; membentuk institusi sosial; publikasi; dan kontak dengan individu dan institusi dalam masalah agama pada tingkat nasional atau internasional. Setuju dengan hal tersebut. Tetapi, hanya sampai di situ saja; sampai pada semboyan saja; nyatanya jauh dari harapan.

Sepatutnya jika ada kebebasan beragama maka harus ada saudara kembarnya yaitu kebebasan tidak beragama serta berpindah agama. Dua-duanya harus dihargai dan dijamin oleh Negara; akan tetapi, ternyata di negeri ini tak adanya kebebasan beragama dan bebas berpindah agama.

Kebebasan Berpindah Agama

Seharusnya boleh-boleh saja; toh tak ada undang-undang di RI yang menyatakan bahwa WNI hanya boleh menganut atau memeluk satu agama (agama tertentu), serta tak undang-undang yang melarang umat beragama berpindah agama. Tetapi, jika terjadi (seseorang yang berpindah atau berganti agama) maka akan diikuti oleh berbagai dampak yang bisa merugikan, hambatan, serta perlakukan yang tidak menyenangkan dari banyak pihak.

Kebebasan Beragama

Seharusnya menjadikan seseorang mampu meniadakan diskriminasi berdasarkan agama; pelanggaran terhadap hak untuk beragama; paksaan yang akan mengganggu kebebasan seseorang untuk mempunyai agama atau kepercayaan.  Termasuk dalam pergaulan sosial setiap hari, yang menunjukkan saling pengertian, toleransi, persahabatan dengan semua orang, perdamaian dan persaudaraan universal, menghargai kebebasan, kepercayaan dan kepercayaan dari yang lain dan kesadaran penuh bahwa agama diberikan untuk melayani para pengikut-pengikutnya. Dan ini hanya harapan yang terus menerus menjadi pengharapan. Karena, bagi/untuk mereka yang minoritas, tak ada kebebasan seperti itu.

Jadi?

Selayaknya negara menjamin adanya kebebasan tak beragama serta berpindah agama.

Tujuannya agar banyak orang Indonesia tak perlu beragama, untuk menghindari konflik, pertikaian, tindakan brutal, rusuh, serta sulit membangun rumah ibadah. Bahkan, mungkin saja, dengan adanya hak tak beragama, maka tak akan terjadi konflik, kerusuhan horisontal antar sesama anak bangsa (harus mengakui bahwa perbedaan agama-iman merupakan akar konflik utama di Nusantara).

Mungkin saja ada baiknya juga beriman tanpa agama-bertuhan tanpa agama

💕💕💕💕

Negara Tidak Menjamin Kebebasan Tak Beragama, oleh Opa Jappy 1 Februari 2012   13:09 WIB

Peristiwa Lelaki Atheis dari Sumbar (hampir-hampir tak banyak orang yang tahu karena) tak terekspos oleh Media Nasional, beruntung ada link yang memuat berita tersebut. Agaknya, Agama telah menjadi tujuan akhir serta sangat mulia melebihi apa pun. Sehingga, menurut banyak orang hanya melalui agama lah maka manusia mengenal Tuhan; dan dengan itu semua manusia harus mengenal (dan percaya adanya) Tuhan.

Dan, jika ada yang tak mau percaya adanya Tuhan, maka itu adalah suatu aib bahkan kejahatan. Karena merupakan kejahatan, maka harus diperiksa polisi, ditahan, dan selanjutnya akan diadili, dan nanti mendekam di penjara. (di negara ini) Agama telah dijadikan elemen fundamental hidup dan kehidupan manusia di Nusantara (walau ini hanya semboyan semu). Setuju dengan hal tersebut. Tetapi, hanya sampai di situ saja; sampai pada semboyan saja; nyatanya jauh dari harapan.

Sepatutnya jika ada kebebasan beragama maka harus ada saudara kembarnya yaitu kebebasan tidak beragama serta berpindah agama. Dua-duanya harus dihargai dan dijamin oleh Negara. Ungkapan kebebasan beragama memberikan arti luas yang meliputi membangun rumah ibadah dan berkumpul, menyembah; membentuk institusi sosial; publikasi; dan kontak dengan individu dan institusi dalam masalah agama pada tingkat nasional atau internasional.

Kebebasan beragama, menjadikan seseorang mampu meniadakan diskriminasi berdasarkan agama; pelanggaran terhadap hak untuk beragama; paksaan yang akan mengganggu kebebasan seseorang untuk mempunyai agama atau kepercayaan.

Termasuk dalam pergaulan sosial setiap hari, yang menunjukkan saling pengertian, toleransi, persahabatan dengan semua orang, perdamaian dan persaudaraan universal, menghargai kebebasan, kepercayaan dan kepercayaan dari yang lain dan kesadaran penuh bahwa agama diberikan untuk melayani para pengikut-pengikutnya.

Dan ini hanya harapan yang terus menerus menjadi pengharapan. Karena, bagi/untuk mereka yang minoritas, tak ada kebebasan seperti itu. Sayangnya, pada sikon kita sekarang, konstitusi NKRI belum menjamin agar rakyat tak beragama, padahal akan lebih baik daripada beragama.

Opa Jappy

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.