Lenteng Agung, Jakarta Selatan | Semalam, pada Zoom Kelas Politik Opa Jappy, seorang peserta berkata, “Parpol di Indonesia seperti Kerajaan Politik, Ketum adalah Kaisar atau Sultan;” sambil merujuk beberapa Parpol.

Saya pun, kembali nyadar, bahwa mungkin 100% Parpol di Indonesia seperti itu, hidup dengan modal yang kuat, serta kekuasaannya hanya pada kelompok kecil elite (Parpol tersebut). Itu lah Oligarki Parpol.

Oligarki

Oligarki, Yunani, oligarkhes, artinya sedikit yang memerintah; sebagai ‘lawan’ demokrasi yang dimaknai sebagai pemerintahan oleh rakyat atau banyak orang. Oligarki lahir akibat aristokrasi bertindak sewenang-wenang yang mendorong lahirnya pemerintahan yang dipimpin segelintir elite untuk memperbaiki kondisi kesenangan aristokrasi.

Oleh sebab itu, Plato memperkenalkan gagasan Oligarki sebagai upaya ‘warning’ kepada rakyat (masa itu) agar Negara (Negara Polis dan Negara Kebangsaan) tidak jatuh ke dalam kekuasaan sekelompok orang, bangsawan, dan otomatis pada/ke turunan Kaisar. Karena itu, Kekaisaran Romawi memiliki Senat untuk memilih, mengangkat, melantik Kaisar.

Oligarki di Indonesia

Jika menelusuri jejak ‘kelompok kecil yang memerintah di Indonesia,’ tidak terlalu sulit. Jejak sejarah menunjukkan bahwa Kekuasaan Raja-raja (terutama Hindu) mirip-mirip di India; bangsawan ikut berperan dalam pengambilan keputusan dan raja sebagai pusat kekuasaan. Serta turunan raja, otomatis berkuasa jika pendahulunya meninggal.

Ketika masa-masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha habis, kecuali di Bali, berganti kerajaan Islam, pola atau model kekuasaan pun berubah. Kerajaan-kerajaan (Islam) di Nusantara tidak menggunakan sebutan Raja (seperti India) ataupun Kaisar (seperti Romawi dan China), melainkan Sultan.

Sebutan tersebut, Sultan, Arab, suln, merupakan gelar dalam dunia Arab Pra-Islam, yang merujuk pada kepala monarki yang berkuasa di suatu wilayah. Gelar sultan kerap disamakan dengan khalifah, karena dipakai setelah Nabi tiada, meskipun terdapat beberapa perbedaan mendasar atas kedua gelar ini.

Khalifah merupakan gelar untuk pemimpin seluruh umat Islam (terlepas sebagai pemimpin secara hierarkis atau sekadar simbolis). Sehingga, Sultan adalah penguasa rakyat, bukan seluruh umat Muslim di mana saja mereka berada. Harus diingat juga bahwa dari semua Sahabat yang memerintah setelah Nabi Muhammad, tak Satu pun dari kalangan Bangsawan Arab Pra-Islam.

Kekuasaan (seorang) Sultan seperti itu, tadinya ‘one man power and one man show,’ berubah ketika ia meninggal dan meninggalkan sejumlah anggota keluarga atau turunan (dari Ratu maupun para Selir). Dari semua turunan tersebut, hanya satu yang menjadi Sultan; sisanya adalah para pangeran atau bangsawan.

Pada perkembangan kemudian, dalam rangka memperkuat pengaruh dan kekuasaan, Sultan mengangkat sejumlah pangeran atau pun bangsawan sebagai Adipati, Panglima, dan Bupati di Kadipaten. Dengan itu, kekuasaan Negara (dhi. Kerajaan) hanya berputar-putar dan berada atau terbatas pada sekelompok orang; inilah akar oligarki di Nusantara.

Oligarki seperti itulah yang mengalir terus di Nusantara hingga Indonesia merdeka. Tapi, harus diingat bahwa pada Era 1945 hingga 1967/68, bahkan 1971 (Pemilu I masa Orba), ‘oligarki kerajaan’ mati suri dan hanya nampak feodalisme kebangsawanan; serta jauh dari kepemimpinan NKRI.

Namun, pasca 1971, ketika Soeharto menjadi semakin kuat, maka ia pun memperkuat dukungan pada dirinya. Sehingga, pada waktu itu, Sekber Golkar (juga pemenang Pemilu 1971), dicipta menjadi organ pendukung pemerintah yang sangat kuat dan berkuasa.

Dari situlah, oligarki di Indonesia besar dan membesar nyaris tanpa batas. Sehingga, siapa pun mau nyaman serta aman gerak (pada bidang politik, ekonomi, sosial, termasuk jadi Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota), maka masuk ke Sekber Golkar. Soeharto pun gunakan Golkar sebagai kendaraan politik untuk terus menerus berkuasa.

Melompat pada era kekinian, Pasca Orba, walaupun banyak orang menyebut bahwa ‘demokrasi rakyat dan kerakyatan’ sudah semakin baik dan membaik; namun sebetulnya hanya semu.

Adanya ‘sedikit parpol’ yang berkoalisi dan membentuk ‘Koalisi Pemerintah’ semakin menumbuh-suburkan Oligarki Parpol terhadap pemerintah. Oligarki Parpol pun merambah masuk hingga ke kekuasaan Pemerintah, termasuk Presiden, seta keputusan Parlemen dan Kejaksaan. Ironis.

Oligarki Parpol pun semakin kuat dan menggurita seperti Holding atau Perseroan Terbatas. Dan, berkuasa tanpa batas serta menentukan semuanya. Parpol pun 11 12 dengan Perseroan Terbatas.

Pada konteks tersebut, Ketum, Putera/i, Kakak/Adik, Ipar, Menantu, Ponakan, dan seterusnya menjadi ‘kelompok elite Parpol;’ merekalah yang berpeluang besar jadi Pimpinan Parpol, Anggota Parlemen, dan lainnya walau tanpa ketrampilan politik.

Sehingga apa yang disebut ‘Kader Parpol,’ apalagi ‘Non Beruang,’ tetap jadi sekedar ‘followers.’ Tak ada peluang untuk mereka mencapai kedudukan politik/politis yang memadai.

Sungguh! Oligarki Parpol, menutup peluang munculnya Politisi Berkualitas.

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini – Suara PKR