Menjelang pengajuan calon presiden dan wakil presiden ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), komunikasi di antara pemimpin partai politik makin intensif untuk membangun koalisi dan mencari kandidat yang akan diajukan.

Orang-orang yang merasa sebagai “tokoh” dan bisa mempengaruhi pilihan warga juga mulai kasak-kusuk ke mana mau “merapat.” Warga juga mulai membuat kalkulasi, bahkan mulai jelas ke mana keberpihakannya, lalu menyebarkannya sebagai wacana di media sosial, dan jadi bahan obrolan.

Pemilihan presiden tahun 2024 yang akan datang akan menjadi pemilihan presiden keenam di  Indonesia setelah reformasi, yang dilakukan secara langsung oleh warga negara yang memiliki hak pilih.

Jadi, semestinya Pilpres lebih berkualitas, dan bangsa Indonesia mestinya naik kelas dalam demokrasi. Kalau kualitasnya sama saja atau menurun, artinya kita “tinggal kelas” atau bahkan mundur dalam demokrasi.

Naik Kelas?

Kualitas demokrasi bukan hanya tentang seberapa besar partisipasi warga dan prosesnya berjalan lancar. Kualitasnya juga perlu dilihat pada apakah proses politik ini makin menegaskan kehidupan bersama sebagai bangsa, dan kompetisi politik ini semestinya jadi proses meruntuhkan sekat sosial dan memperkuat persatuan. Sebab, yang sedang dituju adalah kepentingan dan cita-cita bersama.

Di partai politik, yang menjadi jalur seleksi kandidat, prosesnya akan menentukan kualitas pemimpin yang akan dipilih rakyat. Jalur ini tampaknya masih sempit, dan kandidat masih hanya dari lingkaran politik, dan belum terbuka pada tokoh-tokoh nasional berkualitas yang ada di luar partai.

Melihat perkembangannya, sayangnya, tanda-tanda untuk demokrasi yang makin berkualitas masih lebih sulit ditemukan. Sebaliknya, kecenderungan yang sama masih terjadi. Koalisi-koalisi dibentuk cenderung mengkomunikasikan kepentingan jangka pendek dan hanya mengejar kuasa dan jabatan.
<blockquote><strong>Pemikiran dan politik identitas masih terus dipakai dalam wacana politik.</strong></blockquote>
Wacana-wacana politik di berbagai tingkatan masih terlihat condong pada emosional ketimbang rasional. Bahkan informasi yang dipelintir, informasi palsu dan kebohongan juga masih dipakai untuk kepentingan dalam kompetisi politik ini.

Di negara yang telah banyak makan asam garam demokrasi, politik seperti ini memang masih terjadi, dan tampaknya tidak mungkin dieliminasi sepenuhnya. Namun, jika kecenderungan itu besar, apalagi dominan, akan membahayakan kehidupan bangsa dan negara.

Pengalaman kita sebagai bangsa dalam berdemokrasi sebenarnya sudah cukup banyak. Ini bukan hanya pada pemilihan presiden, tetapi juga pemilihan parlemen (DPR), anggota MPR, anggota DPRD dan kepala daerah yang juga dipilih secara langsung. Sudah sangat cukup kita melihat hasilnya.

Banyak anggota DPR, DPRD, MPR yang ketika kampanye sampai “berbusa-busa” menebarkan janji yang terbaik untuk rakyatnya, berakhir jadi narapidana korupsi. Juga gubernur, wali kota dan bupati, tidak sedikit yang bernasib sama. Belum lagi ada deretan orang yang sedang dibidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Politisasi Agama

Kasus-kasus itu harus menjadi refleksi rakyat yang memegang suara dan penentu akhir bahwa dalam proses seleksi banyak pemimpin yang tidak dipilih dengan pertimbangan kinerja dan moralitasnya.

Politik agama dan politisasi agama menjadi persoalan krusial dan masalah esensial dalam demokrasi di Indonesia, plus demokrasi  yang lambat maju. Agama harusnya menjadi penjaga moral politik. Nilai-nilai agama yang diakui universal menjadi nilai-nilai juga dalam politik praktis. Tokoh-tokohnya diperlukan untuk membantu rakyat untuk melihat lebih tajam tentang kinerja dan moralitas calon pemimpin. Namun yang terjadi adalah

Politisi mempolitisasi agama, agama hanya akan dilihat sebatas satu identitas, dan dipakai sebagai selubung, sehingga aspek nilai dan moralitas terpinggirkan. Ini pada dasarnya adalah merendahkan agama, sekalipun kandidatnya menang. Dan dalam beberapa pemilu, tetap saja merupakan pengalaman memalukan. Mungkin saja, mayoritas Anak-anak Bangsa sangat bebal, dungu, dan picik sehingga membiarkan politisasi agama berulang pada Pemilu dan Pilpres 2024

Menteri Agama, pernah memaparkan pesan utama agama dan bagaimana relasi agama dalam menyambut hajat politik lima tahunan. Menurut Menag,

“Pesan utama agama adalah kedamaian. Politik dan agama sejatinya memiliki tujuan mulia. Agama adalah rahmat dan politik bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat. Menag juga mengajak peserta silaturahmi untuk bijak mencermati politik agama dengan politisasi agama.
Politik agama adalah pemahaman di mana dalam berpolitik nilai agama menjadi pijakan utama bahkan menjadi ruh, jiwa, spirit dan landasan dalam aktivitas politik.
Sementara politisasi agama kebalikannya atau menjadikan nilai-nilai agama sebagai sarana untuk mencapai agenda dan target politik. Politisasi agama menjadikan kekuasaan sebagai target utama. Inilah yang kemudian menjadi persoalan serius bagi kehidupan beragama dan berbangsa.
Indonesia adalah negara agamis. Menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita segenap bangsa Indonesia untuk menjaganya.”

 

SUARA PKR