Screenshot_20231008_062905_Samsung Notes

Citayam, Jawa Barat | Media Sosial itu seperti pisau bermata dua. Media sosial bisa menghadirkan manfaat, dan sekaligus api tidak mendatangkan mudarat. Medsos ampuh melumerkan ketegangan, sekaligus sakti memantik permusuhan, kebencian, kerusuhan, dan tindak kekerasan lainnya.

Salah satu manfaat Medsos ialah mekarnya kebebasan berbicara. Itu amat bagus buat demokrasi. Tapi, mudarat dari membuncahnya kebebasan berbicara itu juga ada. Kualitas pembicaraan di medsos banyak yang masih dangkal.

Di Medsos bebas bicara, bukan bebas berpendapat. Bebas bicara dimaknai asal bicara. Berpendapat berkorelasi dengan  argumentasi, bahkan dilengkapi dengan data, fakta, dan perspektif.

Muara dari ‘asal bicara’ itu ialah merebaknya informasi palsu. Mereka yang amat skeptis menuding bahwa maraknya informasi palsu membuat medsos sebagai ‘gudang kebohongan’. Lebih parah lagi, banyaknya informasi palsu di medsos memicu terjadinya banalisasi kebohongan.

Walhasil, bohong menjadi hal biasa. Tidak ada implikasi moral. Tidak ada tanggung jawab moral. Bohong itu hanya seolah-olah ‘salah memilih kata’. Terjadi ‘relativisasi’ kebenaran. Kebenaran dikaburkan, dijadikan relatif.

Di Medsos, narasi (hoax, palsu, menyesatkan, kebohongan) bisa mengalahkan data. Cerita membungkus kebohongan. Jadi, cara menyampaikan menjadi lebih penting ketimbang pesan itu sendiri. Yang penting viral, beres. Kualitas informasi dan etika itu nomor sekian. Bahkan, kalau keliru membuat konten atau menulis informasi, tinggal minta maaf, habis perkara.

Di Medsos, ada berkembangnya sikap kritis. Karena di medsos tidak dikenal strata, ruang publik kian mendapatkan tempat.

Ada sejumlah fakta yang tersembunyi, atau sengaja disembunyikan, bisa terbuka setelah viral di media sosial. Ada konsumen maskapai yang dirugikan, misalnya, mendapatkan ganti rugi setelah mengunggah kerugian yang dideritanya itu di medsos. Sejumlah kasus kekerasan seksual juga terungkap setelah korban mengunggah peristiwa di medsos

Bahkan, kasus besar yang melibatkan perwira tinggi Polri, Ferdy Sambo, juga tidak lepas dari andil medsos. Belum lagi kisah haru korban bencana yang memicu solidaritas, tidak sedikit yang bermula dari medsos. Tekanan publik terhadap pemerintah atas kebijakan yang dinilai tidak adil pun banyak muncul dari medsos.

Di jagat politik Tanah Air, medsos kini menjadi andalan. Musababnya, berdasarkan survei, sekitar 70% pemilih muda mengandalkan informasi hal ihwal tentang politik dari medsos. Pemilih muda ini merupakan gabungan pemilih pemula dan yang sudah punya hak pilih pada pemilu sebelumnya, tapi masih berusia di bawah 37 tahun

Jumlah pemilih muda ini sekitar 40% (sekitar 86 juta) dari 190 juta orang lebih yang punya hak pilih. Bila dua pertiga di antara mereka mengandalkan informasi politik dari medsos, itu berarti ada sekitar 60 juta pemilih muda terkoneksi dengan berbagai platform medsos tersebut. Jumlah yang sangat besar untuk mendulang suara, sekaligus menguji ide dan gagasan segar.

Takdir zaman sudah mengantarkan kita pada fase tidak bisa menolak medsos. Tinggal kita saja, mampukah memanfaatkan mata pisau positif dari media yang diakses puluhan juta rakyat Indonesia itu.

Berdasarkan laporan We Are Social pada awal 2021, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sudah mencapai 170 juta orang.

Yang penting jangan baperan, mudah tersinggung. Misalnya, bersungut-sungut setelah video pernyataan ‘siap tempur’-nya di depan Presiden viral di media sosial. Unggah saja video versi lengkapnya kalau merasa potongan video itu mengganggu. Unggah saja klarifikasi soal makna di balik kata ‘siap tempur’ demi ‘membentengi’ Presiden itu.

Setelah itu, serahkan kepada publik untuk menilai, apakah penjelasan itu memadai atau cuma beti (beda tipis-tipis) dengan sebagian besar dugaan dan kecurigaan sebelumnya. Itu cara sehat dan demokratis dalam memanfaatkan medsos.

  • Abdul Kohar, Dewan Redaksi Media Group
  • Opa Jappy, Suara PKR