whatsapp-image-2020-11-29-at-11-32-24-5fc325e78ede4878616e8392

Beberapa Narasi Pembuka

Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya,” (Thomas, Abad I Ms)

Thomas, sosok yang sangat dikenal oleh umat Katolik dan Protestan. Ketika murid-murid Yesus menyampaikan padanya bahwa Yesus sudah bangkit dari kematian, ia meminta bukti. Kata-kata di atas merupakan ungkapan jujur dari dirinya.

‘Sikap’ Thomas seperti itulah, maka ia dikenang sebagai orang yang tidak mudah percaya, skeptis, minta bukti dan fakta baru percaya. Sehingga, hingga kini, misalnya di Indonesia, terutama pada komunitas Minahasa, Maluku, NTT, jika dalam percakapan sehari-hari, ada orang suka menyangkal sesuatu (menolak, tak percaya, skeptis, selalu minta lihat bukti fisik), maka ia akan disebut, ‘Dasar Thomas;’ dalam artian menyamakan orang tersebut persis kelakuan Thomas

Kisah Nyata. Suatu waktu, beberapa Ibu-ibu Muda sementara berbelanja di Mall; tiba-tiba mereka melihat seorang pria tanpan terlihat mesrah dengan gadis muda dan cantik di area yang sama. Ibu-ibu Muda tersebut, terkejut karena pria tanpan tersebut adalah suami dari dari salah satu anggota gang mereka, yang saat itu tidak ikut berbelanja.

Selesai berbelanja, mereka ramai-ramai ke rumah Sang Teman, dan menceritakan semuanya yang dilihat plus foto serta vidio di hp. Sang Teman, tidak terkejut, hanya mengatakan, “Sebelum gue lihat sendiri, gue tak percaya.”

Jejak Digital. Mr A, B, C, D, E, F, adalah orangt-orang yang mengikuti pemilihan umum, jika menang, maka akan menjadi Walikota, Bupati, Gubernur, Presiden, Anggota Senat, Anggota Parlemen. Namun mereka kalah secara terhormat; para pemilih tidak memilih mereka karena berbagai alasan.

Tapi, walau sudah terbukti kalah, mereka tidak bisa menerima kekalahan tersebut. Mereka pun melakukan berbagai upaya agar tetap sebagai pemenang, bahkan dengan cara-cara yang tidak elok dan tak bermartabat.

Namun, tetap saja tidak bisa sebagai pemenang; mereka pun ‘membungkus diri’ dengan ketidaksukaan dan kebencian politik serta narasi-narasi perlawanan terhadap para pemenang.

Fakta. Seorang anak muda menyaksikan kekerasan di depan matanya tetapi mengaku tidak terpengaruh oleh kejadian itu. Seorang Manula yang sekarat dan hampir meninggal tetapi menolak untuk berobat. Karyawan tetap bekerja, walau ia sedang sakit. Oang yang membuat banyak kartu kredit, padahal penghasilannya tak memadai untuk membayar tagihan

Dari Teman. Seorang Bapak Muda, ramah terhadap siapa pun; ia mempunyai dua anak remaja, Si Putera dan Puteri; ia sangat menyangi mereka, dan cenderung memanjakan. Suatu waktu Si Putera mengalami kecelakan lalu lintas, dan tewas di tempat.

Bapak Muda sangat terpukul, sedih, dan mendadak pendiam. Setelah pemakaman, dan rumahnya telah sepi dari orang-orang yang datang, tiba-tiba Bapak Muda histeris; ia masuk ke kamar Putera, serta berbicara ke ruang kosong dan barang-barang yang ada di situ.

Isterinya dan Puteri terkejut; mereka melihat Bapak muda memperlihatkan perilaku seperti  Putera masih hidup, ia berbicara, tertawa, ngobrol, tersenyum dengan semua benda-benda dalam kamar.


Jagakarsa, Jakarta Selatan | Narasi-narasi di atas, hanya beberapa contoh tentang apa yang sering disebut sebagai denial atau penyangkalan.

Sederhananya, denial, yang kini semakin popular pada kalangan milenial, walau salah kaprah memaknainya, merupakan proses atau mekanisme seseorang dalam rangka pertahanan dan penyusaian diri pada sikon kontemper yang terjadi atau dihadapinya.

Sikon tersebut, misalnya, kekalahan, kehilangan, kesedihan, duka, ketakutan, kekecewaan, cemburu, putus asa, dan lain sebagainya.

Pada sikon tersebut, orang yang mengalami atau memperlihatkan denial atau ‘denialist,’ umumnya memperlihatkan diri, minimal melalui raut wajah, orasi, dan narasi, tidak terpengaruh apa-apa terhadap hal-hal yang didengar dan dilihat atau yang disampaikan ke/padanya; walaupun semuanya itu telah ada bukti dan fakta.

Mungkin saja ketika, anda dan saya, melihat seseorang yang sementara denial, dengan cepat berpikir (dan menilai) bahwa orang itu kuat, tabah, kokoh, hebat pertahanan dirinya, sehingga tak terpengaruh apa-apa terhadap hal-hal yang menimpa dirinya.

Padahal, tak seperti itu; orang itu, denialist tersebut, hanya memperlihatkan hal yang tak sebenarnya atau tidak sesuai dengan sikon asli dirinya. Ia sementara menyangkal; serta tidak (bisa) mengakui (dam menerima) semua data dan fakta yang ada atau terjadi.

Mari Melompat ke Sikon Kekinian di NKRI Tercinta

Berdasarkan hal-hal di atas, izinkan saya sebutkan bahwa, pada sikon kekinian, Negeri Tercinta penuh dengan orang-orang yang denial; mereka, para denialist itu, ada di mana-mana; dalam semua area, lapisan, elemen masyarakat; serta pada semua latar bealakang sosial, agama, politik, dan golongan. Umumnya, reaksi (mereka) pertama terhadap segala sesuatu yang terjadi adalah ‘menolak atau menyangkal.’

Dan, biasanya mereka menyangkal dengan frasa yang baku antara lain, (i) saya punya pendapat sendiri, (ii) semuanya itu bukan bukti dan fakta, (iii) perlu mencari refrensi lain, (iv) data dan fakta yang ada itu tak bisa sebagai contoh, (v) itu hanya oknum, (vi) kita tak  boleh generalis, (vi) itu hanya pendapat pribadi, (vii) semuanya ok, saya tidak terpengaruh dengan semuanya itu, (viii) walau dunia runtuh, saya tetap dengan pendapat seniri, (ix) dan berbagai orasi dan narasi pertahan diri lainnya.

Dengan frasa baku seperti di atas, memang sangat bermanfaat, walau secara kontemporer, karena membuat diri terhindar dari cemas, takut, kecewa atau sikon psikologi lainnya. Tapi, jika denial yang bekepanjangan, maka (akan) terjadi atau mencapai gangguan kejiwan, juga penyakit fisik lainnya.

Anda, ya anda yang sementara baca, pernah mengalami atau terjebak dalam sikon denial seperti di atas? Jika pernah, tak apa-apa; tapi jangan berkepanjangan karena bisa mengalami gangguan psikosomatis.

Politisi Denial

Selain model denial, seperti, di atas; ada juga denial politik para politisi. Dalam artian, seseorang, katakanlah politisi (di dalam maupun luar Parlemen serta Parpol), menyangkal hal-hal baik (dan benar; juga yang tak benar) yang sementara terjadi dalam hidup berbangsa serta bernegara.

Mereka, para politisi denial (dan juga tak sedikit tokoh informal dan pemimpin keagamaan) tersebut, terutama dari kelompok oposisi, selalu bereaksi miring, terhadap semua kebijakan (termasuk semua hal yang dilakukan) pemerintah.

Kaum denial seperti ini, umumnya menempatkan diri sebagai ‘berseberangan dengan pemerintah,’ selalu yang pertama dan utama menyampaikan orasi serta narasi berbeda dengan pemerintah; buat mereka ‘yang penting tampil beda;’ dan itu adalah ‘personal brandingnya.’ Mau contoh? Coba perhatikan.

Misalnya, yang terjadi sekarang di NKRI, (i) pemerintah bangun jalan tol; reaksi politisi denial, buat bangun tol, toh rakyat tak punya mobil untuk lewat tol, (ii) trend ekonomi yang menaik dan membaik; reaksi politisi denial, itu khan hanya dinikmati oleh kelompok tertentu, (iii) vaksin untuk mengatasi covid-19 dari Luar Negeri; reaksi politisi denial, mengapa dari sana? Mengapa tak produksi sendiri? (iv) rakyat mengalami dampak korban covid-19 non-kesehatan sehingga daya beli berkuran; reaksi politisi denial, pemerintah gagal mensejahterahkan rakyat, (v) Negara membutuhkan UU Anti Terorisme; reaksi politisi denial, UU itu untuk menghambat rayat beraktualisasi diri, (vi) Polisi menangkap orang-orang yang selalu menebar orasi dan narasi kebencian; reaksi politisi denial, Negara menyumbat dan membatasi kebebasan berpendapat, (vi) dan masih banyak contoh.

Selanjutnya?

Bisakah NKRI, negeri tercinta ini, bebas dari Kaum denial, denialist, dan juga Politisi Denial? Bisa. Sebab, (i) sikon denial (yang terjadi atau diperlihatkan) seseorang umumnya bisa hilang atau sembuh; walau ada banyak kasus, terjadi berkepanjangan, (ii) tapi, ‘gangguan kejiwaan’ pada polistisi denial, umumnya sulit disembuhkan; apalagi, mereka adalah orang-orang yang tidak menjadi bagian dari parpol pendukung pemeritah.

Dengan demikian, karena kaum denialist dan politisi denial selalu ada (dan tak pernah punah), maka mari kita bersahabat dengan mereka. Anggaplah mereka sebagai OTG atau orang-orang tanpa gejala, sehingga kita, anda dan saya, waspada agar tidak terjangkit penyakit menular dari mereka.

Cukup lah

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini

Sumber, *Kaum Denial (di) Indonesia,*  Oleh Opa Jappy, 29 November 2020