download

Bogor, Jawa Barat | Isu/Isyu lahir dari issue, Inggris; harfiah,  hasil,  keluaran. Perancis Kuno, issue, eissue atau jalan keluar. Latin, ex, keluar; awalan ex, ke luar ke ire atau jalan.

Issue, selanjutnya isu, nyaris sama dengan ‘bahan mentah kritik, kritis, dan kritisi.’ Namun, isu, umumnya, berdasarkan (i) sesuatu yang belum ada atau terjadi, (ii) hanya tanda-tanda atau gejala, (iii) tafsiran dan opini terhadap tanda-tanda atau gejala, (iv) tidak mempunyai bukti, data, dan fakta.

Isu bisa dinarasikan, diorasikan, ditulis, disampaikan oleh siapa pun berdasarkan ‘suka-sukanya’ dengan tujuan tertentu. Umumnya demi kepentingan menjatuhkan lawan atau pun saingan (politik, bisnis, keterpilihan, percintaan, dan lain sebagainya). Pada konteks itu, hampir tak ada isu yang bersifat positip; sehingga selalu berekses negatif terhadap korban isu.

Lompatan-lompatan Isu

Pencipta Isu, perorangan maupun kelompok, melihat adanya potensi kekalahan dan tak mampu menahan kerugian. Misalnya, secara politik, kebijakan, ekonomi atau tren sosial.

Pencipta Isu terus berupaya, namun tak berhasil, karena lawan selalu unggul dan terus melangkah maju menuju keberhasilan

Pencipta Isu berupaya menemukan titik celah untuk menjatuhkan lawan; biasanya dengan pola Ad Hominem dan Logical Fallacy

Pencipta Isu secara TSM menebarkan orasi dan narasi Ad Hominem dan Logical Fallacy tersebut ke publik yang un-educated, miskin literasi, serta minus wawasan. Mereka melakukan penyesatan opini publik; sekaligus ‘membuatnya’ sebagai kebenaran informasi. Informasi ke publik tidak dua arah, melainkan hanya negatif secara aktual dan ‘benar.’

Jika sudah mencapai penerimaan publik bahwa orasi dan narasi isu tersebut sebagai ‘kebenaran, fakta, data, bukti:’ maka dilakukan operasi pembunuhan karakter.

Isu juga bisa digunakan sebagai ‘kontra isu’ dan ‘pengalihan isu’ terhadap isu yang sudah dilakukan sebelumnya. Biasanya dilakukan oleh

  • mereka yang korban isu sebelumnya,
  • pencipta isu yang isu negatip, jahat, sesatnya terbongkar,
  • institusi untuk mengalihkan perhatian publik terhadap hal-hal kontemporer yang sementara terjadi,
  • mereka yang (ingin, mau) menutupi kejahatan, perbuatan krimininal, kejahatan personal atau pun institusi

  • Cukilan dari Risk Issues and Crisis Management in Public Relation
  • Penulis, Regester, Michael, Judy Larkin
  • Penerbit, New Delhi: Crest Publishing House, 2003.
  • Re-publish by Opa Jappy untuk Indonesia Hari Ini

Kritik, Kritisi, Kritis

Tiga kata di atas, sebetulnya dan suatu keharusan, harus berawal dari data, fakta, bukti, atau pun peristiwa yang benar-benar terjadi, serta sebisa mungkin sementara terjadi (dan berlangsung).

Jadi?

Kritis merupakan sesuatu, sikon, dan peristiwa yang sementara terjadi, serta berada pada titik ekstrem; jika tidak ditolong atau mendapat pertolongan, maka akan jatuh, runtuh, hancur, rusak, bahkan mencapai kematian. Misalnya, orang yang sementara sakit, mereka yang berada di tepi jurang, dan lain sebagainya

Kritik merupakan orasi dan narasi (berdasarkan data, fakta, peristiwa yang telah terjadi), biasanya dari atau dilakukan seseorang ke/terhadap lainnya atau pun lembaga. Ia atau mereka lakukan kritik, biasanya, karena melihat hal-hal yang terjadi tersebut salah, tak sesuai aturan, melanggar Undang-undang, merugikan orang banyak, kesampingkan norma, bahkan berdampak pada sesuatu yang buruk, merusak, menghancurkan, serta persoalan sosial lainnya. Umumnya pengkritik hanya menyampaikan kritik, dan diam, tanpa memberikan solusi apa-apa.

Kritik sebagai hasil buah pikiran dan gagasan tentu sangat berbeda, jelas-jelas berbeda, dengan penghinaan.

Kritik diarahkan pada kinerja dan jabatan, sebaliknya penghinaan sudah berada di kutub berlawanan karena menyerang ke personal seseorang

Kritisi merupakan tindak lanjut atau lebih cerdas dari sekedar kritik. Kritisi selalu di-ikut-serta-kan dengan orasi dan narasi atau jalan keluar cerdas; sehingga, jika dilaksanakan atau disampaikan terjadi perubahan sikap dan tindakan

Opini

Webster: a view, judgment, or appraisal formed in the mind about a particular matter.

KBBI: opini adalah pendapat, pikiran, atau pendirian; merupakan sikap, pandangan, atau tanggapan seseorang terhadap suatu.

Karena merupakan tanggapan seseorang terhadap sesuatu yang ia baca, lihat, dengar, pahami, mengerti), maka bisa terjadi atau muncul ‘tafsir dan pernyataan yang berlebihan ataupun kurang.’

Karena pengaruhi unsur pribadi tersebut maka kadang opini bersifat subyektif serta gagasan (yang tak holistik), juga argumentasi untuk pembenaran (dan membenarkan) pendapat (walau pendapat tersebut berdasar pada hanya berdasar pada ketidaklengkapan baca, lihat, dengar, pahami, mengerti).

Opini juga bisa merupakan rangkaian kata-kalimat yang dirangkum, dan mengandung hasil olah pikir (pribadi ataupun kelompok orang).

Sehingga, dikenal opini pribadi, kelompok, ilmiah, hukum, dan lain sebagainya.

Jutaan sebaran di Dumay, tak sedikit ( yang saya sebut) sebagai opini ngawur atau asal jadi. Opini ngawur (tanpa fakta dan data) bisa lahir dari siapa saja, pada/dalam sikon santai, marah, serta seenaknya; semua orang bisa lakukan itu.

Opini ngawur, pada umumnya muncul atau lahir dari debat kusir, asal hantam, asal sampaikan, dan kadang menyakitkan si pendengar. Tapi karena disampaikan dalam sikon canda, humor, bahan lucu-lucuan, maka yang dengar pun akan menjawab dengan opini ngawur yang sama.

Selamat pagi

Kritik, Kritisi, Kritis terhadap Presiden

Bogor, Jawa Barat | Bolehkah Anda, dirimu dan diriku, melakukan Kritik, Kritisi, Kritis terhadap Presiden? Boleh-boleh saja; tak ada yang melarang dan juga merupakan “Hak Anda” sebagai Warga Negara. Serta, hampir semua Negara di Bumi, yang Kepala Negaranya adalah Presiden, pasti diberi dan mendapat kesempatan untuk melakukan hal tersebut. Namun, apakah mereka melakukannya secara bermartabat, bermoral, dan beretika? Nah….! Itulah pergumulan serta pertanyaan untuk semua.

Kritik, Kritisi, Kritis

Mungkin semua orang, menurutnya, memahami dengan baik tiga kata di atas dengan konsep masing-masing; serta melalui pemahaman dirinya tersebut ia/mereka melakukan kritik, kritisi, dan kritik terhadap (Lembaga) Kepresidenan, Presiden sebagai Pemegang Kekuasaan, serta pribadi. Lalu, menyebutnya sebagai ‘budaya kritik’ plus ‘Kebebasan Berbicara dan berpendapat.’

Tiga kata di atas, sebetulnya dan suatu keharusan, harus berawal dari data, fakta, bukti, atau pun peristiwa yang benar-benar terjadi, serta sebisa mungkin sementara terjadi (dan berlangsung). Jadi?

Kritis merupakan sesuatu, sikon, dan peristiwa yang sementara terjadi, serta berada pada titik ekstrem; jika tidak ditolong atau mendapat pertolongan, maka akan jatuh, runtuh, hancur, rusak, bahkan mencapai kematian. Misalnya, orang yang sementara sakit, mereka yang berada di tepi jurang, dan lain sebagainya

Kritik merupakan orasi dan narasi (berdasarkan data, fakta, peristiwa yang telah terjadi), biasanya dari atau dilakukan seseorang ke/terhadap lainnya atau pun lembaga. Ia atau mereka lakukan kritik, biasanya, karena melihat hal-hal yang terjadi tersebut salah, tak sesuai aturan, melanggar Undang-undang, merugikan orang banyak, kesampingkan norma, bahkan berdampak pada sesuatu yang buruk, merusak, menghancurkan, serta persoalan sosial lainnya. Umumnya pengkritik hanya menyampaikan kritik, dan diam, tanpa memberikan solusi apa-apa.

Kritik sebagai hasil buah pikiran dan gagasan tentu sangat berbeda, jelas-jelas berbeda, dengan penghinaan. Kritik diarahkan kepada kinerja dan jabatan, sebaliknya penghinaan sudah berada di kutub berlawanan karena menyerang ke personal seseorang

Kritisi merupakan tindak lanjut atau lebih cerdas dari sekedar kritik. Kritisi selalu di-ikut-serta-kan dengan orasi dan narasi atau jalan keluar cerdas; sehingga, jika dilaksanakan atau disampaikan terjadi perubahan sikap dan tindakan.

KELOMPOK intelektual tidak akan pernah kehabisan bahasa untuk menyuarakan kebenaran. Mereka terkenal subur akan gagasan dan begitu kaya dengan pemikiran. Tidak mengherankan bila rakyat menggantungkan harapan kepada kaum cendekiawan ketika menghadapi persoalan nan pelik. Di Indonesia, apalagi ketika persoalan itu berhubungan langsung dengan kekuasaan.

Kaum intelektual sontak bertindak sebagai pencerah jalan, pendobrak kebekuan, dan pelantang suara yang membawa jerit penderitaan rakyat langsung ke telinga penguasa. Senjata kelompok cendekiawan hanyalah satu, yakni kritik. Filsuf Amerika Serikat Noam Chomsky sampai mengatakan bahwa peran kaum intelektual ialah to speak the truth and to ekspose the lies (menyuarakan kebenaran dan mengungkapkan kebohongan penguasa).

Suatu Contoh, ketika muncul kata-kata kotor dan tak bermartabat ‘bajingan tolol’ kepada Presiden Joko Widodo, sulit untuk mengatakan itu bukan sebuah penghinaan. Kalaupun tak diarahkan kepada pribadi Pak Joko Widodo, tetapi ke jabatan, kata-kata itu tak pantas disampaikan. Terlebih disampaikan oleh seorang intelektual yang bisa menyelami aspek etik dalam berbahasa di ruang publik.

Orang tentu bisa berdebat panjang dalam urusan semantik dengan menyebut ucapan itu sebagai kritik tajam. Sebuah kritik dari Rocky lantaran Jokowi pergi ke Tiongkok untuk menawarkan proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun, tidak sedikit orang yang telanjur tersinggung dan melaporkan Si pelontar kata ke Polsi. Perbuatannya itu dinilai sudah menyerang pribadi Jokowi serta dianggap mengganggu dan memunculkan kegaduhan di antara masyarakat.

Semua pastinya setuju bahwa kritik tidak boleh dipenjara, tidak boleh dikriminalisasi. Akan tetapi, kritik juga harus ada ukurannya. Kata ‘bajingan’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bisa bermakna penjahat ataupun suatu makian. Kata ‘tolol’ berarti sangat bodoh, bebal. Publik mungkin bisa memahami jika yang diserang ialah kebijakan miring Presiden Jokowi. Baik itu soal proyek IKN maupun Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang harus diakui masih menjadi perdebatan di masyarakat. Tapi, tak bisa menerima ungkapan amoral dan tak bermartabat tersebut.

Kita tentu mendukung, sangat mendukung, agar kritik terhadap kekuasaan terus disuarakan. Menjewer penguasa yang tidak amanah, melawan kebijakan yang semakin menindas, dan memperbaiki kebobrokan dalam pengelolaan Negara. Tapi, kita menolak, sungguh-sungguh menolak, manakala ujaran yang disampaikan bermuatan caci maki, sarat penghinaan, dan bertendensi merendahkan.

Budaya kritik memang seharusnya ditumbuhkan di negeri ini untuk membendung otoritarianisme kekuasaan. Budaya kritik yang sehat, konstruktif, dan disampaikan dengan kata-kata yang baik. Apa jadinya jika diksi yang mengandung polemik itu menjadi hal biasa diucapkan anak bangsa ini. Kekuasaan memerlukan kritik sebagai obat, bukan ujaran kebencian yang sejatinya meracuni peradaban. Intelektual tidak hanya bersandar pada akal, tetapi juga adab dan moral.

Pengaturan pidana atas penghinaan terhadap presiden sebagai lembaga negara kembali menjadi debat publik yang hangat. Paling tidak ada dua momentum terkini yang menyebabkan perdebatan semakin ramai. Pertama, pembahasan pasal tersebut di dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU HP). Kedua, aksi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia yang memberikan ”kartu kuning” kepada Presiden Joko Widodo.

Perlukah pengaturan pidana atas penghinaan terhadap presiden sebagai lembaga? Apakah pemidanaan demikian tidak bertentangan dengan demokrasi? Tulisan ini akan menjawabnya dari sisi hukum tata negara, bukan hukum pidana. Saya berikhtiar menyampaikan argumentasi baru dan tak lagi mengulang apa yang telah didalilkan di ruang publik, khususnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang telah membatalkan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP terkait penghinaan presiden, karena bertentangan dengan UUD 1945.

Demokrasi tentu menjamin kebebasan, tapi bukan berarti tanpa aturan. Salah satu tantangan berat demokrasi adalah menjaga keseimbangan antara kebebasan dan pengaturannya. Demokrasi surplus regulasi akan menghadirkan tirani, sebagaimana demokrasi minus regulasi akan melahirkan anarki. Pengaturan penghinaan presiden mempunyai derajat kesulitan yang jauh di atas rata-rata. Di dalamnya berkelindan berbagai konsep yang saling berdesakan. Bukan hanya kesulitan menyeimbangkan antara kebebasan dan pembatasannya, melainkan juga menyeimbangkan antara menjaga kehormatan presiden dan membuka ruang kritik pada presiden serta membedakan antara posisi presiden sebagai pribadi dan presiden sebagai institusi.

Pribadi vs institusi

Perlu dipertegas, yang ramai diperdebatkan adalah perlunya pemidanaan khusus bagi penghinaan kepada presiden sebagai institusi. Kalau penghinaan terhadap pribadi setiap orang, termasuk yang sedang menjabat presiden, sudah ada ketentuan pidananya. Bukan hanya di KUHP, Rancangan KUHP, melainkan juga dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Jadi, masih perlukah pemidanaan penghinaan atas institusi presiden selaku penyelenggara negara?

Pengaturan khusus pemidanaan kepada pejabat presiden mengandung beberapa persoalan mendasar, di antaranya: tidak ada kekosongan hukum. Jika merasa dihina, seorang Joko Widodo (Jokowi), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), atau siapa pun yang sedang menjadi presiden dapat menggunakan pasal penghinaan pribadi. Memberikan pasal khusus yang memidanakan penghinaan kepada lembaga presiden bukan hanya melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum, karena seorang presiden menjadi lebih diistimewakan, melainkan juga cenderung mencampuradukkan persoalan personal menjadi institusional.

Soal tidak ada kekosongan hukum ini dipertegas Putusan MK tahun 2006 di atas, yang mendalilkan bahwa ”delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut hukum seharusnya diberlakukan Pasal 310-Pasal 321 KUHPidana manakala penghinaan (beleediging) ditujukan dalam kualitas pribadinya, dan Pasal 207 KUHPidana dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden selaku pejabat (als ambtsdrager)”. Jadi, MK bukan saja masih membuka pemidanaan dalam kapasitas pribadi presiden, melainkan juga penghinaan presiden sebagai pejabat negara. Terkait hal ini, saya berbeda pandangan dengan MK. Seharusnya pemidanaan penghinaan terhadap kelembagaan presiden pun dihilangkan (dekriminalisasi).

Saya berpandangan, penghinaan lebih menuju pribadi presiden, sedangkan kepada institusi presiden yang terjadi adalah penyampaian kritik. Terhadap pribadi siapa pun tidak boleh dihina. Karena itu, pelaku penghinaan perlu dihukum. Namun, lain halnya terhadap pengkritik lembaga negara, yang justru harus dilindungi, dan tidak boleh dipidanakan. Pengaturan penghinaan terhadap lembaga kepresidenan akan mengundang kriminalisasi pengkritik presiden sebagai institusi. Apalagi, yang dapat merasa terhina adalah pribadi manusia. Institusi bukan manusia sehingga tidaklah mungkin punya rasa dihina. Artinya, sudah betul jika yang diatur cukup penghinaan pribadi, dengan delik aduan bagi siapa pun yang merasa dihinakan, termasuk yang sedang menjabat presiden sekalipun.

Secara ketatanegaraan, saya tidak mengetahui ada konsep penghinaan presiden (contempt of president). Di Amerika Serikat, negara pelopor sistem presidensial, kritik yang cenderung menghina sekalipun dijamin kebebasannya. Tidak ada pemidanaan atas penghinaan presiden. Karena setiap penghinaan pada lembaga presiden lebih dimaknai sebagai kritik, yang justru dipandang perlu, sehingga tidak dipidana.

Terkait penghinaan atas lembaga negara, memang ada konsep contempt of court, penghinaan terhadap pengadilan. Namun, itu lebih dimaksudkan untuk melindungi perintah pengadilan dari potensi pembangkangan (disobedience). Dalam konteks yang sama, parlemen mempunyai hak subpoena, yang merupakan upaya paksa kepada pihak-pihak yang tidak memenuhi panggilan pemeriksaan. Parlemen kita mengatur soal subpoena yang dapat berujung penyanderaan itu dalam Undang- Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Namun, sekali lagi, lebih ditujukan untuk melindungi pelaksanaan tugas parlemen. Bukan dimaksudkan untuk memidanakan penghinaan lembaga, yang lebih sering merupakan kritik atas kinerja lembaga yang bersangkutan.

Jika pemidanaan penghinaan atas lembaga kepresidenan disahkan lagi melalui RUUHP, maka menjadi sulit untuk tidak memberikan aturan yang sama bagi penghinaan lembaga negara yang lain, seperti parlemen, peradilan, dan BPK. Makin rumit untuk menolak perubahan UU MD3 yang baru mengesahkan kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan untuk mengambil langkah hukum terhadap siapa pun yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Jika semua lembaga negara kemudian menggunakan proteksi anti-penghinaan demikian, maka tinggal menunggu waktu saja bagi para pengkritik kinerja lembaga negara untuk masuk penjara. Tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) akan kembali marak. Kebebasan berpendapat kembali hilang. Itulah lonceng kematian bagi kebebasan berekspresi. Itulah kematian demokrasi.

Konflik kepentingan

Jika tetap diatur penghinaan pada lembaga kepresidenan, akan timbul benturan kepentingan penanganan perkara. Dengan kewenangannya yang sangat kuat, khususnya sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, meski ada prinsip kemerdekaan proses peradilan, tetap saja terbuka lebar potensi intervensi kekuasaan presiden atas berjalannya proses penegakan hukum, yang melibatkan lembaga presiden sendiri selaku pihak yang beperkara.

Benturan kepentingan yang demikian tentu saja bertentangan dengan prinsip fairness dalam penegakan hukum dan karena itu tak dapat dibenarkan. Apalagi penegak hukum kita pasti cenderung sungkan untuk tak memproses dan menghukum kasus yang demikian.

Karena potensi benturan kepentingan itulah, seorang presiden yang diduga melakukan tindak pidana akan diberhentikan dulu sebagai presiden dalam proses tata negara, sebelum menjalani proses hukum pidananya. Itulah konsep impeachment,
yaitu pemakzulan presiden karena melakukan ”pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya”.

Bagi seorang presiden yang diduga melakukan pelanggaran demikian, proses hukum pidananya baru dilakukan setelah yang bersangkutan diberhentikan sebagai presiden. Pemakzulan presiden dalam forum DPR, MK, dan berujung ke MPR itu didahulukan untuk menghindari potensi benturan kepentingan sang presiden yang pasti sangat berkuasa dan karena itu berpotensi memengaruhi proses hukum pidana. Dengan logika hukum yang sama, sebaiknya yang diatur hanyalah pemidanaan atas pribadi presiden, bukan institusi presiden, yang sangat powerful dan karena itu menghadirkan potensi benturan kepentingan.

Kesalahan filosofi berkonstitusi

Selanjutnya, pemidanaan atas penghinaan lembaga kepresidenan juga bertentangan dengan filosofi dasar berkonstitusi. Setiap undang-undang dasar, di samping mengatur hal prosedural, seperti perubahan konstitusi, pada dasarnya mengatur dua hal utama: delegasi kekuasaan kepada lembaga negara dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Kepada lembaga negara diatur pemberian kekuasaan dan bagaimana kontrol atas kekuasaan itu. Sedangkan kepada warganya, negara wajib menjamin perlindungan HAM, termasuk kebebasan berekspresi.

Dengan demikian, filosofi konstitusi yang harus dipahami adalah setiap lembaga negara—terlebih lagi presiden—wajib menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk menjamin dan melindungi HAM, bukan sebaliknya menggunakan kekuasaan lembaganya untuk justru memberangus hak kebebasan berekspresi. Artinya, tidak perlu diatur pemidanaan atas penghinaan lembaga kepresidenan karena akan cenderung memancing presiden (serta kelompok pendukungnya) untuk menyalahgunakan kekuasaan demikian guna memberangus kebebasan berpendapat. Sekali lagi, sudah cukuplah pengaturan pidana atas penghinaan presiden dalam kapasitasnya sebagai pribadi.

Yang pasti, bagi seorang pemimpin sekaliber presiden, diperlukan kebajikan sekaligus kesabaran untuk bisa menyikapi berbagai ekspresi kritik, bahkan yang tak jarang sangat vulgar sekalipun. Era demokratis butuh kesabaran revolusioner untuk para pemimpin bangsa, yang tak cepat reaksioner mendengar berbagai cercaan dan kritik dari berbagai penjuru mata angin. Tentu bukan berarti orang dapat seenaknya menghina atau memfitnah pribadi presiden karena hal demikian tetap dapat dihukum berdasarkan delik penghinaan pada umumnya. Presiden sejati akan membuka ruang lebar-lebar bagi sikap kritis kepada lembaganya. Presiden sejati akan menolak pemidanaan penghinaan atas institusi presiden karena bertentangan dengan konstitusi, sebagaimana telah diputuskan oleh MK.

JAKARTA NEWS