Waspada TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang)! – Kantor Imigrasi Kelas I  Khusus Non TPI Jakarta Barat

Eksploitasi dan penindasan membatasi kebebasan dan mengubah orang menjadi objek untuk meraih keuntungan”

Cibadak Sukabumi, Jawa Barat | Sangat beralasan, jika saya sebut bahwa Tindak Pidana Perdagangan Orang, selanjutnya TPPO, merupakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia paling biadab di era modern ialah perdagangan orang.

Disebut paling biadab karena manusia dijadikan barang untuk mendapatkan keuntungan. Manusia dijual secara utuh atau pun dimutilasi dan diambil organnya, dijual secara terpisah; dan bagian tubuh yang “tak berguna” diberikan ke binatang buas, sekaligus menghilangkan jejak. Tragis, sesudah tidak menguntungkan, mirisnya, orang itu dibuang bak sampah sehingga mencemarkan martabat manusia.

Sejatinya Indonesia sudah memiliki regulasi untuk memerangi praktik perdagangan orang. Regulasi yang dimaksud ialah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO. UU TPPO menyodorkan bukti empiris bahwa perempuan dan anak ialah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.

Korban diperdagangkan untuk tujuan (i) pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, (ii) mencakup eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan.

Sudah 16 tahun regulasi itu berlaku sejak disahkan pada 19 April 2007. Tapi, perdagangan orang masih saja marak terjadi. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan sepanjang 2017 hingga Oktober 2022, tercatat sebanyak 2.356 korban TPPO yang terlaporkan.

Dari seluruh korban TPPO yang terlaporkan, persentase terbesar terjadi pada anak-anak sebesar 50,97%, perempuan sebesar 46,14%, dan laki-laki sebesar 2,89%. Sejak 2019 terjadi peningkatan jumlah korban TPPO yang terlaporkan, yaitu dari 226 pada 2019, menjadi 422 korban pada 2020, dan 683 korban pada 2021. Selama Januari-Oktober 2022 telah terlaporkan 401 korban TPPO.

Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

Regulasi menyebut secara jelas pihak yang mesti bertanggung jawab. Pasal 57 ayat (1) UU 21/2007 menyebutkan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang.

Selanjutnya pada Pasal 57 ayat (2) disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang.

Presiden Joko Widodo pada 1 April 2021 sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO. Gugus tugas itu belum efektif bekerja.

Disebut tidak efektif karena Amerika Serikat memasukkan Indonesia dalam kategori Daftar Pengawas Tingkat 2. Laporan Tahunan Perdagangan Orang 2022 menyebutkan Indonesia belum sepenuhnya memenuhi standar minimum pemberantasan TPPO.

Laporan tahunan itu mengutip satu organisasi internasional bahwa anak perempuan yang menjadi korban perdagangan seks di Indonesia mencapai 30%. Fakta menarik lain yang dikutip ialah wisata seks anak-anak banyak ditemukan di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura. Bali ialah tujuan bagi orang Indonesia dan wisatawan asing untuk wisata seks anak.

Praktik kawin kontrak juga disoroti dalam laporan tahunan tersebut. Disebutkan bahwa turis asal Timur Tengah datang ke Indonesia, khususnya daerah Puncak di Bogor, dan membayar lebih dari US$700 untuk ‘kawin kontrak’ yang biasanya berdurasi maksimal satu minggu.

Harus jujur diakui bahwa pemerintah mulai menggeliat untuk memerangi TPPO. Geliat itu tampak jelas menjelang pelaksaan KTT Ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT.

Presiden Jokowi dalam keterangan pers di Labuan Bajo pada 8 Mei 2023 mengatakan, “Saya tegaskan bahwa kejahatan perdagangan manusia harus diberantas tuntas dari hulunya sampai ke hilir. Saya ulangi, harus diberantas tuntas.”

Presiden juga menyampaikan sejumlah TPPO yang diungkap negara-negara ASEAN. Salah satunya ialah pada 5 Mei 2023, otoritas Filipina dan perwakilan negara lainnya, termasuk Indonesia, berhasil menyelamatkan 1.048 orang dari 10 negara. Dari jumlah itu, 143 orang berasal dari Indonesia. Pemerintah juga telah menyelamatkan 20 WNI korban TPPO di Myanmar.

Menko Polhankam Mahfud MD pada 9 Mei 2023 juga mengungkapkan temuannya terkait dengan sindikat TPPO. Sindikat itu mengirim 200 orang melalui kapal dengan kode-kode tertentu.

Terkait dengan pengusutan sindikat, laporan tahunan pemerintah AS perlu menjadi pertimbangan. Keterlibatan aparat dalam kejahatan perdagangan manusia tetap menjadi perhatian, tapi pemerintah tidak mengambil langkah untuk menanganinya. Jika benar itu yang terjadi, bukan lagi pagar makan tanaman, melainkan pagar makan orang.

Amanat Konstitusi

KONSTITUSI mengamanatkan negara untuk melindungi keselamatan setiap warganya di mana pun berada, termasuk mereka yang mengadu nasib di negeri orang. Jaminan yang dimandatkan konstitusi tersebut tidak bisa ditawar. Kelalaian atas hal itu jelas merupakan kegagalan.

Berulang kali para pekerja migran harus terjebak dalam kondisi tidak manusiawi. Bahkan tidak sedikit yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang, kembali ke Tanah Air hanya jenazahnya saja.

Terungkap bahwa sebanyak 1.900 jenazah korban TPPO dipulangkan ke dalam negeri dalam tiga tahun belakangan. Artinya, hampir 2 jenazah yang pulang setiap hari karena TPPO. Kemudian, sedikitnya terdapat 3.600 pekerja migran Indonesia yang mengalami sakit, depresi, hilang ingatan, bahkan cacat secara fisik.

Bila melihat fakta tersebut, negara bukan hanya lalai, melainkan gagal dalam melindungi segenap warga negaranya. Kasus yang berulang ini menjadi penanda gagalnya skema perlindungan terhadap pekerja migran. Tidak hanya ketika di negeri orang, sistem perekrutan di dalam negeri juga masih amburadul.

Buktinya 90% para buruh migran yang terjerat TPPO tersebut berangkat tanpa dibekali dokumen resmi. Artinya, mereka bekerja tanpa disertai keahlian dan kecakapan yang disyaratkan. Biasanya, melalui jalur tikus lewat jasa tekong dan menjadi korban penempatan sindikat ilegal.

Akhirnya ketika berada di negara tujuan, mereka dieksploitasi. Mendapatkan kekerasan, waktu kerja panjang, tidak digaji, tidak dapat hari libur, tidak dapat jaminan sosial, serta buruknya kondisi kerja dan tempat tinggal.

Kondisi yang membuat para pahlawan devisa ini lebih mirip mengalami sistem perbudakan. Mereka layaknya komoditas yang diperjualbelikan oleh para sindikat. Sialnya, praktik ini seakan tidak tersentuh oleh aparat, justru malah tumbuh subur.

Padahal, Indonesia sudah memiliki Satgas TPPO yang keketuannya dijabat langsung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Namun, sejak dibentuk pada 2008, hadirnya lembaga ini tidak pernah berjalan efektif.

Publik berharap rencana perubahan struktur dengan mengalihkan keketuaan satgas TPPO kepada Kapolri bisa menjadi solusi jangka pendek untuk melakukan penegakan hukum yang lebih efektif. Langkah yang sekaligus menjadi jeda evaluasi terhadap peran dan fungsi satgas TPPO yang sudah bekerja selama 15 tahun.

Sebab, tumbuh suburnya TPPO dipengaruhi oleh praktik saling melindungi oleh beberapa pihak. Dengan berada di tangan Kapolri, praktik-praktik upaya komodifikasi buruh migran ini dapat dengan cepat diberantas.

Publik berharap satgas di bawah Kapolri nantinya akan bergerak cepat menjerat lima orang bandar besar sindikat perdagangan orang yang berhasil diidentifikasi oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia atau BP2MI.

Kelima orang tersebut selama ini tidak tersentuh hukum karena dilindungi oleh orang-orang yang punya kuasa.

Namun, tentu negara tidak boleh kalah dengan orang-orang yang mengklaim memiliki atributif-atributif kekuasaan. Negara mesti secepatnya menindak orang-orang yang melindungi sindikat perdagangan orang.

Yang tidak kalah penting yang perlu dilakukan pemerintah ialah bagaimana pemerintah menyediakan lapangan kerja di dalam negeri, terutama di wilayah kantong buruh migran seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara.

Selama ini masyarakat miskin sangat berpotensi untuk menjadi buruh migran untuk memperbaiki nasib di tengah keterbatasan kesempatan kerja di dalam negeri. Iming-iming gaji besar bekerja di luar negeri menjadi modus operandi sebagai umpan yang menyelubungi kail untuk menjerat korban TPPO.

Suara PKR, Media Indonesia