Denial, yang kini semakin popular pada kalangan milenial, merupakan proses atau mekanisme seseorang dalam rangka pertahanan dan penyusaian diri pada sikon kontemporer yang terjadi atau dihadapinya.

Jagakarsa, Jakarta Selatan | Note Januari 2023, beberapa hari lalu, bersama sejumlah rekan Mantan Pengajar Psikologi Abnormal ngopi bareng sambil Natalan. Para Opa Oma ini masih tetap seru jika bahas Kesehatan Jiwa, apalagi nyeret-nyerempet ke Capres dan Cawapres.

Begini. Bisa disebut, semua Capres/Cawapres mengalami masalah Kesehatan Mental; walau belum mencapai ODGJ. Mereka masih fine-fine dan tampak Sehat Rohani Jasmani. Ik 1000% Akkoord. But, apakah mereka, para Capres/Wapres itu,  bebas dari Denial Politik?

Begini Berikutnya.

  1. Muhaimin, hampir 2 tahun jadi Calon Presiden Baliho; baliho ada di mana-mana. Tapi, tahun lalu, tak satu pun Parpol, selain PKB, mau usung dia jadi Capres. Imin kecewa? Pastilah. But,  ada denial, sehingga menutup kekecewaannya. Dalam keadaan denialis itu muncul Anies. Tanpa banyak negoisasi dan pertimbangan idiologi, Imin pun jadi Cawapres. Yah, tak ada rotan akar pun jadi.
  2. Anies. Publik waras tahu kegagalan orang ini. Ia juga pasti tahu bahwa dirinya mengalami penolakan (karena sebagai Gubernur Gagal dan Gubernur Terbodoh) dari publik waras. Denial menolongnya. Denial pun meyakinkan Anies bahwa ia bisa, mampu, ada peluang jadi Presiden RI. Hadeh! Emangnya tak ada Orang Indonesia Asli, sehingga milih dirinya?
  3. Prabowo. Sekian kali kalah menuju Wapres and Presiden; but kekuatan denial membuat Bowo tak  pernah merasa kalah; yang ada adalah Kesempatan yang Tertunda.
  4. Gibran? Ah, daku tak memperhatikan sepak terjang dan prestasi anak ini. Tapi, ada kemungkinan, denial membuat ia keluar dari masih muda dan belum pengalaman kemudian bersanding dengan Bowo.
  5. Gandjar. Akhir-akhir ini, kadang begitu manis sebagai Jokowisme, saat lain garang seperti Banteng Merah Marah lepas kandang. Mengapa? Gandjar tak bisa lepas dari denial full. Berani Total berseberangan dengan Jokowi? Berani?  Takutlah. Gudang Suara pemilih Presiden, 80% adalah Pemilih, pendukung, Pecinta Jokowi.
  6. Mahmud MD. Nah, Profesor ini, merupakan Kandidat Tanpa Beban; saya setuju. Kalah, Menang, Jadi, Tidak, tak masalah. Ada kemungkinan, siapa pun Presiden Terpilih, Mahmud tetap jadi Menteri.

Kaum Denial (di) Indonesia

Politisi Denial

Selain model denial, seperti, di atas; ada juga denial politik para politisi. Dalam artian, seseorang, katakanlah politisi (di dalam maupun luar Parlemen serta Parpol), menyangkal hal-hal baik (dan benar; juga yang tak benar) yang sementara terjadi dalam hidup berbangsa serta bernegara.

Mereka, para politisi denial (dan juga tak sedikit tokoh informal dan pemimpin keagamaan) tersebut, terutama dari kelompok oposisi, selalu bereaksi miring, terhadap semua kebijakan (termasuk semua hal yang dilakukan) pemerintah.

Kaum denial seperti ini, umumnya menempatkan diri sebagai ‘berseberangan dengan pemerintah,’ selalu yang pertama dan utama menyampaikan orasi serta narasi berbeda dengan pemerintah; buat mereka ‘yang penting tampil beda;’ dan itu adalah ‘personal brandingnya.’ Selanjutnya, Bisakah NKRI, Bebas dari Kaum denial, denialist, dan juga Politisi Denial?

Bisa. Sebab, (i) sikon denial (yang terjadi atau diperlihatkan) seseorang umumnya bisa hilang atau sembuh; walau ada banyak kasus, terjadi berkepanjangan, (ii) tapi, ‘gangguan kejiwaan’ pada politisi denial, umumnya sulit disembuhkan; apalagi, mereka adalah orang-orang yang tidak menjadi bagian dari parpol pendukung pemer;itah.

<span;>Dengan demikian, karena kaum denialist dan politisi denial selalu ada (dan tak pernah punah), maka mari kita bersahabat dengan mereka. Anggaplah mereka sebagai OTG atau orang-orang tanpa gejala, sehingga kita, anda dan saya, waspada agar tidak terjangkit penyakit menular dari mereka.

Denial dan Hasil Pilpres 2024

Sederhananya,  denial merupakan proses atau mekanisme seseorang dalam rangka pertahanan dan penyusaian diri pada sikon kontemporer yang terjadi atau dihadapinya.  ikon tersebut, misalnya, kekalahan, kehilangan, kesedihan, duka, ketakutan, kekecewaan, cemburu, putus asa, dan lain sebagainya.

Pada sikon tersebut, orang yang mengalami atau memperlihatkan denial atau ‘denialist,’ umumnya memperlihatkan diri, minimal melalui raut wajah, orasi, dan narasi, tidak terpengaruh apa-apa terhadap hal-hal yang didengar dan dilihat atau yang disampaikan ke/padanya; walaupun semuanya itu telah ada bukti dan fakta. Politisi (yang) denial  menyangkal serta tidak (bisa) mengakui (dan menerima) semua data dan fakta yang ada atau terjadi. Parahnya lagi, Mereka yang Kalah (akan) Menolak Kekalahan dan salahkan pihak lain sebagai penyebab dirinya tidak menang atau kalah.

Mampir dalam Ingatanku, beberapa waktu yang lalu, saya katakan bahwa,

Narasi Pilpres Curang pada 2019 dilakukan oleh Orang-orang Kalah dan Narasi Pilpres Curang pada 2024 dilakukan oleh Orang-orang yang Takut Kalah

Jika mereka menang, maka muncul narasi, “Walau Kami Dicurangi dan ada Kecurangan, Kami Menang”

Jika mereka Kalah, maka Pemilu dan Pilpres Curang sehingga Kami Kalah

“Meragukan” Pemilu Pilpres Jujur Adil

Kini, Pasca 14 Februari 2024 dan muncul hasil Quick Count, muncul orasi dan narasi, yang saya prediksi sejak tahun lalu; yaitu Kalah karena Kami Dicurangi atau Terjadi Kecurangan. Lihatlah! Para politisi denial menebarkan orasi dan narasi

  1. Pemilu dan Pilpres penuh Kecurangan
  2. Pelanggan Konstitusi
  3.  Keberpihakan Aparat Negara
  4. Rekayasa Perhitungan Cepat
  5. Mekanisme Perhitungan suara yang merugikan Kandidat tertentu
  6. dstnya

Pada frame, sikon, konteks tersebut, Politisi Denial memainkan Politik Mental Victim atau Mentality Playing Victims

Politik Mental Victim Mentality-Playing Victim(s)

Mereka berseru sebagai korban Curang dan Kecurangan sekaligus mengundang perhatian Massa agar berpihak dan membela mereka. Dan, jika eskalasi dukungan semakin menaik, maka terjadi upaya membakar emosi dan amarah Massa. Massa yang seperti itu, (akan) mudah diprovokasi agar melakukan aksi-aksi sekaligus Anarkis.

Cukuplah

Opa Jappy | Jakarta News
+62 81 81 26 858