Cafe Politik, Jakarta Selatan | Konflik kepentingan sejumlah negara besar -negara pada krisis Ukraina yang merembet ke G-20 membuat posisi Indonesia sulit. Karena ada permintaan dari sejumlah negara agar Indonesia tidak melibatkan Rusia dalam agenda G-20.

Sebagai Ketua G-20, Indonesia berusaha menjaga organisasi itu fokus pada agenda utama sehingga menghasilkan output yang optimal.

Berikut Ini, Redaksi Jakarta News Meringkas Jejak Digital Pendapat Sejumlah Pakar tentang “Dilema Indonesia sebagai Ketua G-20 akibat Serangan Rusia terhadap Ukrania.”

Teuku Faizasyah, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI:

Tantangan konkret presidensi G-20 Indonesia adalah memastikan negara-negara anggota G-20 tetap fokus pada agenda utama G-20, khususnya upaya pemulihan ekonomi global. Dan menghindari, walaupun tidak mudah, proliferasi atau ekses dari konflik tersebut.

Kemenlu terus memetakan seiring dengan bergulirnya proses G-20 dan konflik itu sendiri. Namun, setidaknya dapat diperkirakan, polarisasi dalam kerangka global akibat konflik tersebut akan terefleksi di berbagai forum internasional, termasuk G-20.

Kemenlu memberi pendampingan untuk kementerian dan lembaga domestik pengampu kegiatan G-20, wsensinya adalah agar mereka bisa memahami skala permasalahan dan dinamika global yang terjadi serta agar dapat fokus pada agenda utama G-20. Saat ini, segala sesuatunya masih sangat dinamis dan berproses.

Muhadi Sugiono, Pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada:

Sudah ada permintaan mengecualikan Rusia dalam serangkaian rapat persiapan dan pertemuan G-20. Permintaan atas alasan Rusia menyerang Ukraina sejak 24 Februari 2022 itu disampaikan oleh negara-negara yang telah menjatuhkan sanksi ke Moskwa. Sanksi itu termasuk larangan masuk sejumlah pihak di Rusia ke negara pemberi sanksi.

Larangan itu bisa menyulitkan Indonesia jika ada agenda G-20 yang harus digelar di negara yang menjatuhkan sanksi. Target-target keketuaan Indonesia sulit dicapai tanpa dukungan China, India, Afrika Selatan. Juga sulit kalau G-7 tidak mendukung.

G-7 penting karena masih mendominasi perekonomian global, terutama di sektor keuangan. Namun perekonomian global juga terus berkembang di luar tujuh negara terkaya itu. Lebih dari 80 persen populasi global tinggal di luar anggota G-7. G-7 meliputi Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, Kanada, Italia, dan Jepang.

Aktor-aktor dalam G-20 bukan hanya AS dan sekutunya serta Rusia. Ada Arab Saudi, Afrika Selatan, China, hingga India yang terbukti punya kepentingan masing-masing. Arab Saudi dan India terbukti tidak mau menurut pada AS.

Tantangan bagi kepemimpinan Indonesia di G-20, adalah fakta bahwa hubungan AS dan sekutunya dengan Rusia sudah tidak lagi pada tahap konflik melainkan sudah pada permusuhan ideologis. Oleh karena itu, persoalan ini cenderung lebih sulit dicarikan titik tengahnya.

Jika masalahnya masih soal kepentingan, masih ada peluang mencari jalan tengah. Jika masalahnya sudah sampai menegasikan atau meniadakan pihak lain, akan sulit dicari komprominya.

Aristyo Darmawan, Pengajar Hukum Internasional Universitas Indonesia:

Pada satu sisi, kehadiran AS dan sekutunya di G7 maupun Rusia sama pentingnya di G-20. Tanpa G7, G-20 akan kehilangan signifikansinya. Sebab, G7 masih menjadi pemain utama global. Di sisi lain, Indonesia akan kehilangan netralitasnya jika tidak mengundang Rusia dalam rangkain pertemuan G-20 di bawah keketuaan Indonesia.

Akan menjadi bumerang, mengonfirmasi keberpihakan Indonesia pada Amerika Serikat. Indonesia semakin dianggap mudah disetir Amerika Serikat dan sekutunya jika setuju tidak mengundang Rusia. Kepercayaan kepada Indonesia, yang selama ini terkenal bisa diterima berbagai pihak, akan tergerus.

Kehadiran Rusia di forum-forum G-20 bukan hanya kepentingan Jakarta dan Moskwa. G-7 sebenarnya justru sangat berkepentingan dengan kehadiran Rusia di rangkaian kegiatan G-20. Sebab, G-20 dibentuk untuk merangkul kekuatan-kekuatan yang berkembang di luar G-7.

Mohamad Dian Revindo, Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia:

Kalau tidak dirangkul, maka akan tumbuh persaingan baru. Pengecualian Rusia dari G-20, akan melanggar esensi dasar organisasi itu. Indonesia perlu menanggapi wacana pengecualian Rusia secara serius.

Sebab, ada pihak-pihak yang menolak dan mendukung wacana itu. Pendukung dan penolaknya sama-sama berkontribusi penting bagi perekonomian global.

Secara ekonomi, Indonesia condong ke China. Akan tetapi, blok yang dipimpin Amerika Serikat menguasai infrasktruktur keuangan global seperti IMF, Bank Dunia.

Dalam situasi sekarang, netralitas Indonesia dipandang sebagai keberpihakan pada Rusia. Indonesia juga bisa dianggap berpihak ke AS dan sekutunya jika membiarkan forum G-20 dipakai untuk mengecam Rusia. Indonesia bisa dianggap gagal kalau itu (kecaman pada Rusia di forum G-20) terjadi.

Indonesia perlu menelaah secara mendalam apakah para pendukung Rusia akan memutus kerja sama dengan Indonesia bila Indonesia dianggap berpihak pada barat.

Hal ini penting karena hubungan ekonomi Indonesia dengan pihak-pihak yang tidak menyokong kecaman terhadap Rusia terhitung mendalam.

Dengan China misalnya, rata-rata separuh ekspor Indonesia ditujukan negara itu. Indonesia juga butuh dukungan lebih luas dari G7 jika ingin target kepemimpinannya di G-20 tercapai

🙏🏿🙏🏿🙏🏿

Ingat: Masih Banyak Komunitas yang Memelihara Dendam di Indonesia.

Sehingga, saat Konflik UkraRus selesai, maka bisa terjadi, Para Pendendam akan jadikan Para Pendukung Rusia dan China sebagai sasaran marah dan amarah

Sikap Indonesia yang condong ke China, sudah memicu dan memperkuat Antichina di Indonesia.

Dan, itu semakin menjadi Gorengan dari Kalangan, Kadrun, Oposisi.

Nitizen Indonesia, Stop Ikutan Kacaukan Suasana.

Jika Konflik Berlanjut, Indonesia Bisa Dinilai Gagal sebagai Ketua G20

Cafe Politik Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, Jumat, 19 Maret 2022

Sumber:
Kompas Id, Kompas, Tribun, Opa Jappy

Editor: Me and Me