Screenshot_20231008_062905_Samsung Notes

Cianjur, Jawa Barat | Agaknya persaingan untuk menjadi Presiden RI pada 2024 semakin marak dan terbuka. Minimal sudah ada dua “calon kandidat,” yaitu Bapak Anies Baswedan (BAB), mantan Gubernur Terbodoh (seturut alogarima Google) di DKI Jakarta dan Gandjar Pranowo (GP), kini, Gubernur Provinsi Jawa Tengah.

Masih adakah Calon Kandidat lain? Teorinya, masih ada dan terbuka untuk itu. Sebab, untuk mengusung seseorang agar  ikut Pemilihan Presiden maka Parpol (sendiri atau Koalisi) memiliki kekuatan 20% di Parlemen hasil Pemilu sebelumnya.

Jadi, jika ada 100% Anggota Parlemen, maka bisa 5 Calon Kandidat Presiden pada Pemilihan Presiden RI pada Tahun 2024. Itu teorinya, tapi fakta dan sikon politik RI, tak semulus teori, dan juga etika politik.

Di Negeri Tercinta Ini, sangat banyak faktor (di luar Politik, Rekam Jejak Keberhasilan, dan Kualitas Kepemimpinan) yang mempengaruhi seseorang mencapai kedudukan sebagai Walikota (dan Wakil), Bupati (dan Wakil), Gubernur (dan Wakil), dan Presiden (dan Wakil). Faktor-faktor tersebut, kadang tak masuk akal, seperti agama, suku, sub-suku, “bangsawan politik,” isue gender, spiritual, dan lain sebagainya. Lucunya, faktor-faktor itulah yang menjadi andalan pada sejumlah Calon Kandidat dan Tim Sukses mereka.

Aneka faktor tersebut mempengaruhi rakyat atau calon pemilih terkotak-kotak, skisma, bingung, dan sulit membuat pilihan terbaik. Mereka malah (akan) memilih karena emosi keberpihakan dan kesamaan identitas Suku, Agama, Ras, Golongan, dan sejenisnya.

Juga, karena faktor-faktor di luar Politik, Rekam Jejak Keberhasilan, dan Kualitas Kepemimpinan itulah, sekarang, saat ini, ketika (para Elite) Parpol menentukan Calon Wakil Presiden; mereka tidak (dan haram) melihat Kandidat yang Kristen, Katolik, Hindu, Budha, bukan Jawa dan Sunda, dan sosok-sosok dari Indonesia Timur (misalnya NTT, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua). Padahal ada potensi dari area tersebut. Bahkan, kekayaan alam Indonesia Timur, hampir 90% memperkaya Negara; hanya remah-remahnya yang kembali ke rakyat Indonesia di bagian Timur. Menyedihkan.

Agaknya, Bangsa, Rakyat, Negara Tercinta, utamanya Elite Parpol, perlu merobah cara pikir dan model berpikir bahwa “Presiden dan Wakil Presiden RI bukan melulu porsi dan hak milik Jawa, Sunda dan Islam;” yang lain tak pas serta tidak diperhitungkan.

Tapi, adakah keberanian merobah cara pikir dan model berpikir tersebut? Agaknya, tidak ada. Tidak Berani. Karena isi kepala dan jiwa mereka masih penuh narasi identitas, skismatis, superioritas ras, soft sentimen SARA; dan berpancasila dengan cara munafik. Dengan sikon seperti di atas, pada Pemilihan Presiden 2024, RI mendapat Presiden, minimal, setara Joko Widodo, Presiden RI yang sekarang? Semoga!

Akhir kata, simak baik-baik narasi dari Media Indonesia

Mengubur dalam-dalam ujaran kebencian dan hoaks lalu mengedepankan semangat persatuan ialah bentuk lain dari cara berkompetisi yang sehat. Kita yakin para elite paham hal itu. Tinggal bagaimana mereka tidak lagi menyembunyikan pemahaman itu di balik terlalu tingginya ambisi untuk berkuasa.

Bagi penyelenggara, Pemilihan Presiden akan bermutu jika mereka profesional, penuh integritas, dan adil. Pun buat pemerintah yang semestinya berdiri di tengah, tidak condong, apalagi terang-terangan berpihak dan membantu pihak tertentu.

Peran rakyat juga sangat menentukan, Pemilihan Presiden akan membuahkan hasil gemilang jika rakyat berpikir cemerlang. Memilih presiden berdasarkan rekam jejak calon, bukan atas dasar kebencian dan sentimen pribadi, ialah cara berpikir yang cemerlang itu.

Kita boleh bersyukur bisa leluasa mencermati rekam jejak para capres karena mereka sudah dicalonkan jauh-jauh hari. Saatnya kita menelanjangi kinerja mereka, komitmen mereka, kapasitas dan kualitas mereka dalam memimpin rakyat, menyejahterakan rakyat.

Rekam jejak ialah tolak ukur paling sahih untuk menilai capres. Jangan menilai calon berdasarkan persepsi karena persepsi sangat subjektif, tergantung pada siapa yang memersepsikan. Ada yang distigma intoleran. Padahal, kenyataannya sangat toleran. Ada yang dipersepsikan sangat dekat rakyat, padahal, realitasnya tidak sepertoi itu.

Memilih karena persepsi jelas berbahaya. Kini kita punya banyak waktu untuk menghindari hal itu. Kita punya lebih banyak waktu untuk menimang capres sebelum meminangnya nanti.

Semoga Mencerdaskan

Opa Jappy | Suara Peduli Keadilan Rakyat

Mencari Calon Wakil Presiden yang Nasionalis dan Berpancasila

Rangkasbitung, Banten | Saat ini, Indonesia “telah memiliki” dua Bakal Calon Presiden, (i) Bapak Gandjar Pranowo, BGP (ii) Bapak Anies Baswedan, BAB.

Satu atau dua Bakal Calon masih belum tampil karena masih malu-malu kucing manja, antara mau, tak berdaya, dan minus dukungan politik. Padahal, rata-rata hasil survei sejumlah Lembaga Survei menunjukan bahwa, Prabowo Subianto 22%, GP 19.8-20.2%, BAB 15.9-17.9%. Itulah pergerakan kehangatan politik di Indonesia, penuh kejutan dan misteri.

Ok lah. Katakanlah, nantinya, ada dua or tiga, Calon Presiden untuk Pemilihan Presiden RI pada tahun 2024, namun siapa Calon Wakil Presiden mereka? itu dan Ini masih misteri, seturut misteriusnya Politik Indonesia.

Tapi, Sunyi tentang Calon Wakil Presiden. Menjadi (Calon) Wakil Presiden di Indonesia, memang unik dan nyaris tanpa lelah dan kelelahan. Era Soeharto, banyak orang cari muka pada Bos Harto; ia memilih dan menentukan, MPR RI wajib nurut dan ketok palu. Pasca Soeharto, mau jadi Wakil Presiden, maka nunggu nasib dipilih Elite Parpol dan Kandidat Presiden.

Menolak lupa. Penentuan cawapres bisa begitu alot, hanya beberapa hari sebelum tanggal pendaftaran peserta Pemilihan Presiden. Pada 2018, Prabowo Subianto mengumumkan cawapresnya tiga hari sebelum pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Joko Widodo mengumumkan cawapresnya pada H-1.

Padahal jika pengumuman Calon Wakil Presiden lebih awal, publik bisa mempunyai kesempatan mengetahui (dan menguliti) plus minusnya; bahkan, publik bisa menolak atau menerimanya dengan tulus. [Note: Ketika Joko Widodo menetapkan Calon Wakil Presiden beberapa jam sebelum pendaftaran di KPU, membuat sangat banyak relawan dan rakyat tak ada kesempatan menilai, kritisi, dan menolak keputusan tersebut; walau mereka kecewa].

Oleh sebab itu, ke depan, yang paling dekat untuk Pemilihan Presiden RI 2024, jangan terulang lagi kesalahan yang sama dilakukan Jokowi. Sebab Era Now adalah masa orang mencari jejak digital, tak seorang pun mampu bersembunyi di Dunia Maya.

Para (bakal) Calon Presiden jangan sodorkan Kandidat Wakil yang pepesan kosong, asal milih, dan tak berkualitas. Harus sedini mungkin, walau pendaftaran capres-cawapres Pilpres 2024 akan berlangsung pada 19 Oktober–25 November 2023.

Pengumuman cawapres yang lebih awal sesungguhnya juga keberpihakan kepada rakyat. Dengan begitu, rakyat akan punya lebih banyak waktu mempelajari rekam jejak para kandidat.

Sejauh ini bursa cawapres sudah cukup ramai. Pada hasil survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada periode 31 Maret-4 April 2023, ada 8 nama Calon Wakil Presiden, antara lain

  1. Ridwan Kamil, elektabilitas 19,62%.
  2. Sandiaga Uno,18,9%
  3. Erick Thohir, 13,0%
  4. Agus H Yudhoyono 9,1%
  5. Khofifah Indar Parawansa  6,2%
  6. Puan Maharani  5,4%
  7. Airlangga Hartarto, 2,7%
  8. Muhaimin Iskandar,1,9%

Dari semua (bakal) Calon Wakil Presiden di atas, apakah semuanya Nasionalis dan Tak Berpancasila secara Munafik? Silahkan Dirimu Renungkan dan Jawab.

Kemarin saya menulis bahwa,

Karena faktor-faktor di luar Politik, Rekam Jejak Keberhasilan, dan Kualitas Kepemimpinan itulah, sekarang, saat ini, ketika (para Elite) Parpol menentukan Calon Wakil Presiden; mereka tidak (dan haram) melihat Kandidat yang Kristen, Katolik, Hindu, Budha, bukan Jawa dan Sunda, dan sosok-sosok dari Indonesia Timur (misalnya NTT, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua). Padahal ada potensi dari area tersebut. Bahkan, kekayaan alam Indonesia Timur, hampir 90% memperkaya Negara; hanya remah-remahnya yang kembali ke rakyat Indonesia di bagian Timur. Menyedihkan.

https://pedulikeadilanrakyat.com/wakil-presiden-ri-2024-dari-indonesia-timur/

Dengan itu, Negeri yang menuju Satu Abad Ini, apakah masih berpolitik secara “anak di bawah usia lima tahun?” Plus, mengutamakan, misalnya, sentimen perbedaan, rasial, identitas kelompok, dan sejenis dengan itu.

Semoga Mencerdaskan

Opa Jappy | Suara PKR

Artikel Terkait