Bogor, Jawa Barat | Mungkin anda, tentu dan saya, pahami persis bahwa proses belajar pada seseorang harus menyangkut psikomotoris, afektif, dan kognitif, (Taksonomi Benjamin S. Bloom 1956). Sehingga hasil belajar, minimal, terjadi perubahan dan perkembangan sesuai ketiga aspek tersebut, (tindakan/berbuat, rasa/sifat/sikap, dan pengetahuan/ilmu).

Dari semua aspek tersebut, seringkali, yang paling menonjol, mendapat perhatian, serta diperhatikan adalah aspek kognitif (Ini merupakan kesalahan Sekolah dan Orang Tua), sementara lainnya terabaikan.

Pengabaian tersebut bisa berdampak pada hasil pendidikan (lulusan sekolah) pintar, berijazah tapi minus nilai-nilai kemanusiaan, etika, moral, dan lainnya. Padahal, hasil pendidikan (yang menyangkut semua aspek) hanya berguna jika terjadi secara holistik di area hidup dan kehidupan.

Salah satu pengembangan dari Aspek Kognitif (Bloom) adalah Metakognitif (dari Meta dan Kognitif). Terminologi itu dikembangkan oleh John H. Flavell (pakar Filsafat Pendidikan berbasis Psikologi. Serta dipopulerkan pada ranah Matakuliah Pengembangan Kepribadian oleh Jappy M Pellokila), dimaknai sebagai (i) berpikir jauh ke depan berdasarkan masukan-masukan yang didapat, (ii) memikirkan apa yang sedang dipikirkan, (iii) ringkasnya sebagai adanya upaya seseorang, secara cerdas, mengelola kecerdasannya (akibat hasil pendidikan) pada area hidup dan kehidupan keseharian, (iv) singkatnya, Metakognitif sebagai Kecerdasan Mengelola Kecerdasan.

Dengan demikian, dalam Metakognitif ada (i) hal-hal yang menyangkut ingatan, pemahaman, terapan, analisis dan sintetis dan evaluasi, (ii) mengontrol dan mengatur  pertumbuhan keterampilan berpikir yang dimiliki, (iii) kecerdasan menilai diri sendiri, (iv) menakar apa yang diketahui dan tidak tahu, (iv) bahkan ketrampilan menyampaikan kecerdasan ke/pada orang lain atau sesama.

Dari semuanya itu, pada sikon kekinian, yang paling diingat dari Metakognisi adalah (i) Kecerdasan Mengelola Kecerdasan, misalnya sebaran dari Rhenald Kasali, (ii) ketrampilan menyampaikan kecerdasan ke/pada orang lain atau sesama, misalnya Jappy M Pellokila, penekanan terhadap para lulusan PT agar mampu menyampaikan ilmunya dengan bahasa-bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti semua orang. Dua-duanya nyaris sama, dan tak perlu didebatkan.

Tingkat Keberhasilan

Jika Metakognisi adalah kecerdasan mengelola kecerdasan, (Rhenald Kasali) dan  ketrampilan menyampaikan kecerdasan ke/pada orang lain atau sesama, (Jappy M Pellokila), maka pada ranah publik (utamanya pada ruang-ruang komunikasi) terjadi beberapa tingkatan. Hal tersebut antara lain,

Pertama, ini yang terendah. Orang Cerdas yang tidak tahu bahwa dirinya memiliki kecerdasan; dan mereka yang tak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Orang-orang seperti ini, tidak mau belajar, enggan menerima tantangan baru, atau pun belajar hal-hal baru. Mereka terpaku pada stagnasi berpikir serta ‘yang ada padaku, sudah cukup.’

Kedua, orang cerdas untuk diri sendiri. Orang-orang seperti ini biasa pintar, lulusan terbaik, bergelar (banyak) tapi tak mampu sampaikan apa-apa yang ia punyai tersebut ke/pada orang lain. Jika ia/mereka ‘dipaksa’ untuk menyampaikan, maka audiens tak pahami, bahkan bingung dengan ucapan ataupun istilah-istilah yang diucapkan. Mereka jangan jadi guru atau dosen dengan murid lebih dari satu orang, karena pasti gagal mentransfer ilmu.

Ketiga, orang cerdas untuk kelompok minatnya sendiri. Mereka adalah orang-orang yang luar biasa, hebat,  pintar pada bidangnya. Mereka bisa mencapai Ph.D ataupun Guru Besar. Tapi, mereka tak mampu atau mudah berbicara atau komunikasi (ilmiah, sosial, dll) di area bukan kelompok minatnya. Jika terjadi, maka yang muncul adalah istilah atau frasa-frasa yang tak dimengerti publik.

Ketika masih ramai-ramai Covid-19, saya mengeluh pada mereka yang termasuk kelompok ini. Yaitu para dokter yang tampil di Media; mereka menyampaikan banyak hal sesuai bahasa kedokteran, dan rakyat pun bingung. Minimal, saya saya sampaikan ke dua Dirjen di Kementerian Kesehatan, agar robah cara penyampaian; belakangan mereka berubah.

Keempat, ini adalah level tertinggi metakognisi. Orang-orang seperti ini tahu persis kualitas dan kapasitas ilmu yang ia/mereka miliki, dan terus mengisi dengan hal-hal baru.

Mereka mampu mengsistimatikan (secara abstrak) semua yang ada pada dirinya. Dan, tahu persis saat, waktu, tempat, dan sikon untuk menyampaikan kecerdasannya ke/pada orang lain atau pendengar di area terbuka maupun tertutup.

Mereka, sejatinya, adalah orang-orang cerdas yang sebenarnya. Sebab mampu mengelola kecerdasan, (Rhenald Kasali) dan  trampil menyampaikan kecerdasan ke/pada orang lain atau sesama, (Jappy M Pellokila).

Bagaimana dengan diri anda?

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini