download (1)

Pemilu Pilpres Berkualitas menghasilkan Presiden, Wakil Presiden dan Parlemen  yang  legitimasinya kuat, karena dihasilkan dari Proses yang Luber Jurdil

Narasi Lama Pemilu Luber Jurdil

Narasi Lama Pemilu Luber Jurdil, ya, tak salah tulis; itu adalah slogan yang muncul sejak Pemilu 1971, walau pada waktu itu, tanpa Jurdil. Karena waktu itu, Jurdil dalam/saat Pemilu adalah sesuatu yang langka; bahkan bisa masuk penjara karena dituduh tidak percaya Pemerintah, menghasut, serta sebarkan kabar bohong. Tapi, sejak Pemilu 1999, kata Jurdil dikaitkan dengan Pemilu Luber, sehingga menjadi Pemilu Luber Jurdil.  Itu dimaknai sebagai Asas Pemilihan Umum di Indonesia harus Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil.

Asas Langsung, ada kepastian bahwa rakyat sebagai pemilih memiliki hak untuk memberikan suara secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

Asas Umum, menjamin kesempatan pada rakyat secara menyeluruh bagi semua warga negara, yang memenuhi persyaratan sesuai undang-undang.

Asas Umum, memastikan bahwa tidak ada diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.

Asas Bebas, memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya agar dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.

Asas Rahasia, pemilih yang memberikan suaranya dipastikan bahwa pilihannya tidak diketahui oleh pihak mana pun dan dengan cara apa pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan kerahasiaan yang terjamin.

Asas Jujur, setiap penyelenggara Pemilu, aparat pemerintah, peserta, pengawas, pemantau, pemilih, serta semua pihak yang terkait dalam penyelenggaraan Pemilu harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Asas Adil, menjamin setiap pemilih dan peserta Pemilu diperlakukan secara sama dan bebas dari kecurangan pihak mana pun dalam penyelenggaraan Pemilu.

Narasi Ketidakpercayaan

Walau semua pihak di Negeri Tercinta sudah setuju dengan Pemilu dan Pilpres 2024 harus Luber Jurdil, namun tetap saja muncul Gonjang-ganjing terhadap Pemilu/Pilpres 2024. Hal tersebut muncul, yang saya sebut, dari Hamparan Kosong berdasarkan dugaan, isu, mereka-reka, kira-kira, dan katanya, terbukti secara sah dan meyakinkan. Bahkan secara sadis orang-orang dari Hamparan Kosong tersebut menyebut bahwa telah terjadi Kemunduran Demokrasi. 

Backsliding Demokrasi

Dan, menurut segelintir orang, di dalam “kemunduran” tersebut, menyerukan agar Indonesia tetap dijaga sebagai Negara Hukum, bukan menghukum Pemerintah, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan HAM, serta pada dasar itulah maka  penyelenggaraan Pemilu 2024, tidak diwarnai gugatan yang terjadi terus-menerus; dengan alasan terjadi pelanggaran secara TSM. Jadi, Pemilu bukan sekadar masuk ke bilik suara, melainkan membuktikan setiap tahap berjalan sesuai Asas Pemilu.

Selain itu, menurut segelintir orang tersebut kondisi Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Sebab, penyelenggara negara berpotensi melakukan kecurangan. Sementara, masyarakat hanya disuguhi pertarungan tentang figur tapi minus gagasan. Jadi, penyelenggara negara, jangan main-main dengan penyelenggaraan pemilu; rakyat tidak bisa diam karena  Indonesia tidak baik-baik saja.

Juga, kata mereka, reformasi, hukum bukan lagi menjadi milik penguasa. Namun, kondisi saat ini bisa menjadi langkah mundur karena hukum ditafsirkan sesuai keinginan penguasa. Oleh karena itu, masyarakat berani berkontribusi untuk memastikan agar proses Pemilu 2024 berjalan dengan jujur dan adil serta hukum tetap dijaga sebagai kewenangan, bukan hukum kekuasaan.

Keseimbangan

Pemilu yang jujur dan adil memegang peranan krusial dalam menjaga keseimbangan demokrasi di Indonesia. Proses ini bukan sekadar ritual formal, melainkan fondasi utama warga negara mengekspresikan hak politiknya dengan bebas dan adil. Kejujuran dan keadilan dalam penyelenggaraan pemilu menjadi penjamin bahwa suara setiap individu memiliki bobot yang sama tanpa adanya diskriminasi atau manipulasi politik. Dengan demikian, pemilu menjadi instrumen utama rakyat dalam memilih pemimpin dan menentukan arah masa depan negara.

Selain itu, pemilu yang jujur dan adil juga berperan penting dalam membangun legitimasi pemerintahan. Proses pemilihan yang transparan dan adil membantu memperkuat kredibilitas pemimpin yang terpilih, sehingga mereka memiliki legitimasi yang kuat untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Legitimasi ini menjadi dasar yang kokoh bagi pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang mendukung kesejahteraan rakyat serta menangani berbagai isu dan tantangan yang dihadapi oleh negara. 

Pemilu yang jujur dan adil juga berfungsi sebagai penjaga stabilitas politik dan sosial. Dengan adanya proses pemilihan yang bebas dari kecurangan, potensi konflik politik yang merusak stabilitas negara dapat diminimalisir. Hal itu membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan pembangunan negara, serta mendorong perdamaian dan harmoni di antara berbagai kelompok masyarakat.

Penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil juga merupakan cerminan dari prinsip keadilan dan supremasi hukum dalam sistem politik. Ketika proses pemilihan dijalankan dengan integritas, maka hal ini akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokratis dan aturan yang berlaku. Ini mendorong tumbuhnya budaya hukum dan keadilan yang menjadi pijakan kuat bagi kemajuan demokrasi di Indonesia.

Mental Victim Mentality-Playing Victim(s)

Anda, dan Saya, Kita, pernah mendengar istilah Victim Mentality dan Playing Victim? Tentu Saja; dengan pemaknaan sesuai keterbatasan (serta kelebihan) pemahaman masing-masing. Victim Mentality dan Playing Victim, sebut saja VM-PV, sepertinya sederhana; namun sebetulnya masuk dalam Gangguan Kesehatan Mental walaupun belum mencapai ODGJ yang stress, depresi, histeris, phobia, serta lari-lari bugil di Jalan Raya, dll.

VM-PV, bisa disebut Gangguan Jiwa Ringan yang terjadi atau digunakan seseorang (maupun kelompok) agar mencapai tujuan tertentu. Ia, mereka, siapa pun dia, merasa diri selalu menjadi korban. Apa pun yang mereka alami atau terjadi pada dirinya akibat perbuatan orang lain yang sengaja ditimpakan pada dirinya (Si Penderita VM-PV). Umumnya Orang, seperti itu, yang bermental VM-PM, karena

  1. Enggan Mencari Solusi ketika mengalami Masalah
  2. Rendah Diri
  3. Menghindari Tanggung Jawab
  4. Marah dan Frustrasi dengan Keadaan
  5. Memiliki trauma masa lalu
  6. Mengalami mythomania, yaitu kondisi yang membuat seseorang melakukan kebohongan terus-menerus meski tidak ada tujuan khusus
  7. Tertimpa situasi yang kurang menyenangkan secara terus-menerus
  8. Kurang mendapatkan perhatian dari orang lain
  9. Dikhianati orang lain.

Jika VM-PV mencapai titik akut, dan menjadi suatu pembenaran diri sebagai korban, maka bisa memunculkan sikap rebelis, pemberontakan, perlawanan, bahkan sebagai seorang teroris. Contoh paling sederhana adalah para pembom bunuh diri, teroris, jihad; yang menurut mereka akibat Umat yang Ditindas, Tertindas, mengalami Penindasan, dlsbnya.
Mereka selalu merasa diri sebagai korban di berbagai situasi. Sehingga tertimpa situasi buruk. Dan, konsisten menyalahkan situasi atau orang lain terhadap masalah yang dihadapi.

Mental Politik Victim Mentality-Playing Victim

Adakah Politik Mental Victim Mentality-Playing Victim, saya pun bertanya pada rekan (yang Guru Besar Kesehatan Mental, dulunya pernah ngajar pada Institusi yang sama). Ia jawab, “Jappy, lue ada-ada saja. Tapi, bisa saja ada seperti itu, nulis ya, dan berikan Gue opinimu.” Lha, saya jika ditantang, maka syaraf nulis pun gerak, ternyata memang ada Politisi bermental Politik VM-PV; mereka ada di mana-mana. Jadi Ingat, silakan or tolong Anda tambahkan, untuk memperkaya data saya. Mereka yang selalu bermain dengan Politik Mental Victim Mentality-Playing Victim, antara lain

  1. Mereka yang menyebut diri sebagai Korban Orba
  2. Kaitan dengan (1) membangun kelompok perlawanan; dan terus menerus mengulang narasi Kami adalah Korban hingga sekarang
  3. Menyamakan semua Era Pemerintahan sebagai Orba
  4. Ada Jenderal (Purn), atau mantan Perwira Tinggi lainnya,  yang jadi pemimpin setelah tunjukkan diri sebagai korban dari Politisi lainnya.
  5. Semua Kelompok-kelompok Teroris, Radikal, Intoleran menyatakan diri sebagai Korban Penindasan dan Tertindas oleh Rezim
  6. Barisan Politisi Sakit Hati yang menyerukan amarah umat/rakyat, buruh (kurang pendidikan), mahasiswa (yang bodoh) agar melakukan aksi-aksi perlawanan terhadap Negara, UU, dan Kebijakan Pemerintah. Semuanya dibungkus dengan Kami adalah Korban Kekuasaan Negara, Ketidakadilan, Kekerasan, dlsbnya
  7. … monggo tambahkan

 

Mental Politik Victim Mentality-Playing Victim pada Pilpres RI 2024

Coba Perhatikan, Orasi dan narasi Politik Eep dari Kubu Amin, ada narasi bawa amarah rakyat, rakyat yang terluka, dll ke TPS untuk menghukum Rezim. Juga dari sana, Ormas (terkadang dan dilarang) adalah Korban kekerasan Negara pada umat.

Faktanya, Orasi dan Narasi Kecurangan Pilpres and Pilpres 2024 Full Kecurangan yang disampaikan secara TSM oleh kelompok Yang Itu-itu. Saya hanya menjawab mereka bahwa,

Jika sejak awal menyebut Kecurangan Pilpres dan Pemilu, mengapa masih ngotot ikut Pemilu dan Pilpres 2024. Lha, kok ngajak orang ke TPS?

Ada Baiknya para penyebar Kecurangan Pilpres tidak ikut Pemilu dan Pilpres.

Sebab

Jika mereka menang, maka muncul narasi “Walau Kami Dicurangi dan ada Kecurangan, Kami Menang”

Jika mereka Kalah, maka Pemilu dan Pilpres Curang sehingga Kami Kalah

Sehingga, yang terjadi adalah mengulang salah

Narasi Pilpres Curang pada 2019 dilakukan oleh Orang-orang Kalah

Dan

Narasi Pilpres Curang pada 2024 dilakukan oleh Orang-orang yang Takut Kalah

Itulah Pembodohan Publik yang dilakukan oleh Politisi dan Parpol yang menderita Mental Politik Victim Mentality-Playing Victim. Jadi, saat ini, dan nanti Pasca 14 Februari 2024, Mental Politik Victim Mentality-Playing Victim terus menerus diperlihatkan.

Bahkan, sebagai Alat Utama untuk

  1. Menolak hasil Pilpres (mereka yang kalah)
  2. Mengundang Massa agar melakukan Aksi Anarkis, Rusuh, dan Kerusuhan Sosial
  3. Membuka Jalan agar terjadi aksi-aksi Teror dan Terorisme
  4. dan lain-lain

Odite Jokowi dan Jokowi Est Amicus Meus

Lalu, Apa yang Bisa (Kita) Kita Lakukan?

  1. Saya hanya bisa kirim Artikel di atas untuk Presiden, Kapolri, dan Panglima TNI
  2. Anda Share dan Viralkan
  3. Anda sampaikan ke Link masing-masing agar juga sampai ke Nomor 1

Jakarta News

Opa Jappy, WA +62 81 81 26 858