ins-788

 

 

Ideologi Pancasila. Ideologi, berakar dari Idea/Ide dan Logou/s (Yunani Koine). Idea merupakan landasan awal pemikiran atau pemikiran yang sangat mendasar. Idea juga bisa bersifat asali atau pun paduan hasil oleh pikir; paduan dari nilai-nilai yang sudah ada sebelumnya; dan berkembang, dipahami, dilaksanakan oleh setiap yang ada dalam Komunitas. Logou/s merupakan ucapan, ungkapan, kata, kata-kata.

Jadi, sederhananya Ideologi merupakan ungkapan (dalam bentuk orasi dan narasi) gagasan yang dibangun berdasar landasan berpikir yang asali atau telah ada sebelumnya. Ideologi bisa berkembang karena disistematikkan, dan diajarkan (secara formal dan informal) atau pun diwariskan ke generasi berikut.

Pola pewarisan tersebut melalui unsur-unsur kebudayaan; misalnya seni, bahasa, gaya hidup dan kehidupan, perilaku, etika, ajaran moral, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, ideologi menyangkut keseluruhan aktivitas hidup dan kehidupan; serta bisa sebagai identitas/ciri khas setiap orang di/dalam komunitas, sub-suku, suku, serta Bangsa dan Negara.

Proses Naskah Pancasila

Saya ajak Anda (yang sementara baca) melompat ke masa lalu; masa yang, seharusnya, tak terlupakan dari arsip ingatan. Ya, coba dengan kendaraan imajinasi  meluncurlah ke 31 Mei 1945.

Ketika itu, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan atau BPUPKI, (berdiri 29 April 1945), 28 Mei 1945 (hingga beberapa hari kemudian) melakukan Persidangan di Gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6 Jakarta (sekarang dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila).

Pada awal persidangan, peserta berdiskusi, debat, silang pendapat tentang sebutan, bentuk, dasar, ideologi Negara (yang akan merdeka).

Ketika itu, ada banyak pilihan bentuk negara; misalnya Kerajaan, Republik, Federasi, Serikat, bahkan sebagai “Persemakmuran Belanda;”  ideologi dan Negara pun masih banyak tawaran serta pilihan: religius, sekuler, atau gabungan keduanya tanpa saling mengganggu tapi melengkapi satu sama lain.

Karena “saling-silang” itulah maka BPUPKI membentuk Panitia Sembilan untuk merumuskan Dasar dan Ideologi Negara (tentu dengan semangat “Sebentar Lagi Hindia Belanda akan menjadi Negara Berdaulat, Merdeka, dan Mandiri”).

Panitia Sembilan tersebut, adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, Mohammad Yamin. Panitia Sembilan ini diberi waktu dua hari (29 dan 30 Mei 1945) untuk merampungkan tugas mereka.

Ketika para peserta menyampaikan pidato usulan mereka; pemuda Soekarno, yang duduk di pojok ruangan, menyimak dengan penuh perhatian; sambil, tangan menulis pokok-pokok penting di kertas.

Malamnya, ketika semuanya beristirahat, Soekarno mengolah ulang catatan-catatan gagasannya plus apa-apa yang ia dengar selama persidangan. Setelah itu, lewat tengah malam, Soekarno tertidur karena kelelahan namun bahagia.

Bahagia karena, besok 1 Juni 1945, ia akan menyampaikan usulan dan gagasan tentang Idiologi serta Dasar Negara.

Pada persidangan 31 Mei 1945, peserta menyampaikan usulan dan gagasan tentang Idiologi dan Dasar Negara; termasuk yang menjadi debat panas di persidangan.

Gagasan awal Soekarno pada 31 Mei 1945 (Malam), dan pidato 1 Juni 1945

  1. Kebangsaan Indonesia
  2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
  3. Mufakat atau Demokrasi
  4. Kesejahteraan Sosial
  5. Ketuhanan yang Berkebudayaan

 

Usulan Mohammad Yamin

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
  3. Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
  4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
  5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

 

Usulan Seopomo

  1. Paham Persatuan
  2. Perhubungan Negara dan Agama
  3. Sistem Badan Permusyawaratan Sosialisasi Negara
  4. Hubungan antar Bangsa yang Bersifat Asia Timur Raya

 

Piagam Jakarta

  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI, 18 Agustus 1945

Pancasila

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa

  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

  3. Persatuan Indonesia

  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

 

Generasi Kehilangan Pancasila

Prof. Amin Abdullah, Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, 

Indonesia telah mengalami lost generation dalam hal Pancasila selama 20 tahun lebih sejak reformasi 1998.

Hilangnya pendidikan Pancasila di sekolah dan perguruan tinggi sejak peralihan orde baru ke orde reformasi tersebut menjadi ancaman nyata bagi kohesi sosial di negara Indonesia saat ini.

Survei Setara Institute pada 17 Mei 2023 yang menyatakan 83,3% siswa SMA berpendapat Pancasila bukan sebagai ideologi permanen dan bisa diganti, tidak bisa dipungkiri sebagai akibat sekaligus alarm penting dari absennya pendidikan Pancasila di tanah air.

20 tahun lebih Indonesia mengalami lost generation dalam kepancasilaan. Peserta didik dari PAUD, SD/MI, sekolah menengah pertama (SMP/MTs), dan sekolah menengah atas (SMA/MA/MAK) tidak diperkenalkan dan tidak mempelajari Pancasila. Mereka ini sekarang menjadi guru Aparatur Sipil Negara

BPIP dan Kemdikbudristek telah menyusun Pedoman Guru dan Sumber Literasi Pendidikan Pancasila dengan proporsi 70 materi dan 30 pedagogi.

Di saat yang sama sedang diselesaikan buku teks utama Pendidikan Pancasila yang berlaku mulai tahun ajaran baru tahun 2022/2023.

BPIP dan Kemdikbudristek menyiapkan 14 buku Pendidikan dan Pembinaan Ideologi Pancasila terdiri dari

    • 2 buku (Pendidikan dan Pembinaan Ideologi Pancasila dan buku Panduan Guru: Inspirasi Kegiatan untuk Anak Usia 3-4 tahun dan Usia 5-6 tahun)
    • 6 buku (Pendidikan dan Pembinaan Ideologi Pancasila untuk siswa SD/MI kelas I-VI)
    • 3 buku (Pendidikan dan Pembinaan Ideologi Pancasila untuk SMP/MTs kelas VII-IX)
    • 3 buku (Pendidikan dan Pembinaan Ideologi Pancasila untuk SMA/MA/MAK kelas X-XI).

 

Profesor Franz Magnis Suseno

Kebangsaan yang berjiwa Pancasila harus terus-menerus diaktualisasikan. Sejumlah tantangan dalam merawat Pancasila yaitu adanya kecenderungan intoleransi alami, munculnya ideologi-ideologi radikal agamis transnasional, dan penyempitan kembali rasa identitas (misalnya pakaian seragam di sekolah).

Dengan latar belakang ini, kita harus bertanya bagaimana pendidikan kita bisa mendukung persatuan Indonesia yang berbineka tunggal Ika atas dasar Pancasila.

Peserta didik harus mengalami pendidikan yang memberikan wacana positif keagamaan terbuka, membangun komunikasi antar penganut agama yang berbeda, dan menumbuhkan kebanggaan sebagai orang Indonesia baik dalam pelajaran Sejarah, peristiwa nasional (contoh: sepak bola), dan mengalami Indonesia sebagai sebuah kemajuan keadilan, solidaritas, dan kesejahteraan.

Misalkan 50% masyarakat belum sejahtera mendapat kesan Indonesia milik mereka yang di atas, maka kita jangan heran jika mereka mencari orientasi ideologis yang lain dari Pancasila.

Tanggung jawab guru untuk bersikap positif dan terbuka terhadap perbedaan termasuk agama yang berbeda. Guru juga harus menunjukkan kebanggaan sebagai orang Indonesia dan menularkan semangat itu kepada para siswanya.

Jika Pancasila diberikan sebagai hafalan maka tidak akan membentuk karakter, melainkan perlu diajarkan lewat keteladanan. Jangan sampai semacam ajaran dogmatik atau murid lulus kalau hafalannya benar.”

Matius Ho, Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius H

Bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk dengan beragam suku, ras, agama, dan kepercayaan, namun dipersatukan oleh kesepakatan-kesepakatan. Dalam sebuah teori disebut sebagai covenantal pluralism (pluralisme covenantal), yaitu pluralisme atau kemajemukan yang tidak mencampuradukkan perbedaan tetapi tetap mempertahankan perbedaan-perbedaan di dalamnya.

Pancasila adalah contoh kesepakatan utama yang amat penting tersebut, dan itulah juga sebabnya banyak pengamat di berbagai negara yang tertarik dengan Pancasila karena dianggap mampu mempersatukan bangsa Indonesia yang amat besar dan majemuk.

Tantangan Indonesia dengan lebih dari 1.300 suku dan 650 bahasa yang tersebar di berbagai pulau dari Sabang sampai Merauke menjadi pengalaman berharga juga bagi bangsa-bangsa lain di dunia di tengah tantangan polarisasi dan perpecahan.

Dr. Chris Seiple, Senior Fellow University of Washington

Kompetensi Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) semakin penting dimiliki para guru karena mereka akan benar-benar memahami agamanya dan bagaimana agamanya memiliki sudut pandang positif dalam menjalin hubungan dengan orang yang berbeda.

Kita ingin orang-orang memiliki teologi mendalam yang akan melahirkan cara pandang politik yang moderat

Prof. Katherine Marshall, Wakil Presiden Asosiasi Lintas Agama G20

Keberagaman adalah hal purba yang selalu ada di dunia ini, bahkan makin besar dari waktu ke waktu. Dia menyebut hubungan insani atau antar pribadi menjadi esensi untuk mengubah pandangan atau nilai kita tentang orang lain yang berbeda.

 

Sudah berapa kali Anda dan saya melewati tanggal 1 Juni ini? Sejak lama 1 Juni menjadi tanggal yang ‘terpendam’ karena dihubungkan dengan Soekarno, Sang Bidan yang melahirkan Pancasila.

Namun, berbeda dengan 1 Oktober, yang ‘diagungkan’ sebagai Kesaktian Pancasila karena dihubungkan dengan Orde Baru serta Soeharto.

Ya, sikon terpendam dan pengagungan itu berlangsung selama puluhan tahun hingga pada tahun 2016, ketika ada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 TAHUN 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Ya, sejak itu terjadi titik balik.

Titik balik yang menjadikan sangat banyak orang kembali pada Pancasila dan Nilai-nilai Luhur yang di dalamnya; sementara itu, tak sedikit orang yang mencoba melakukan pemaknaan ulang terhadap ‘Kesaksian Pancasila.’

Ya, Pancasila tetap sebagai ‘Sakti dan penuh Kesaktian,’ tanpa harus dilekatkan dengan semua peristiwa parah berdarah pada tahun 1965/1966 dan stigma, tudingan, tuduhan sebagai PKI.

Kini 1 Juni 2023, setelah 1 Juni 2016, di Gedung Merdeka Bandung, Jawa Barat, sekitar pukul 11.10 WIB, Presiden Jokowi, menyatakan “Dengan mengucap bismillah, tanggal 1 Juni ditetapkan diliburkan dan diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila.”

Tapi, (i) gaung atau pun gemanya belum mencapai celah serta pelosok Nusantara, (ii) juga belum sempat mencapai semua hati rakyat Indonesia, (iii) bahkan, tragisnya tidak sedikit elemen bangsa, atau saya sebut sebagai ‘oknum,’ tidak menerima Pancasila sebagai Azas Berbangsa dan Bernegara.

Bahkan, lebih dari semuanya itu, juga tidak sedikit orang yang memperhadapkan Pancasila sebagai Idiologi dengan hal-hal lain, sambil menawarkan ‘ideologi alternatif.’ Dan, jika itu terjadi maka seluruh tatanan Berbangsa dan Bernegara akan berubah, atau bahkan menjadikan NKRI yang tanpa ‘Kesatuan’ atau Nusantara yang berpecah-belah.

Lalu, apa yang bisa diperbuat sehingga kita, Anda dan saya, mempertahankan Pancasila sebagai Idiologi dan Azas Berbangsa dan Bernegara?

Saya sementara membayangkan tentang ‘Bulan Pancasila;’ yang di dalamnya adalah momen diskusi, pertemuan warga, seminar, pesta rakyat, dan lain sebagainya; yang di dalam nuansa Sila-sila Pancasila menjadi ikon-ikon menyemarak suasana. Sehingga dari sana, butir-butirnya sudah ada, diaplikasikan ke dalam bentuk-bentuk kegiatan, lomba, paparan, seni, dan seterusnya.

Apa mau ku kata; saya termasuk sekian banyak orang yang tak setuju 1 Juni sebagai Hari Libur Nasional. Alasannya hanya sederhana, karena sebagai “libur dan liburan” maka orang akan mengisinya dengan berbagai kegiatan; tentu saja kegiatan yang bersifat rekreasi.

Alasan lain, saya lebih menyukai Pendidikan Moral Pancasila atau pun P4 (dengan model baru) kembali menjadi bagian di/dalam Kurikulum Pendidikan Nasional. Atau bahkan, adanya keputusan Politik yang mengharuskan Pancasila sebagai asas wajib semua organisasi masyarakat dan politik; atau asas berbangsa dan bernegara pada semua organisasi yang dibentuk oleh masyarakat dan terdaftar di Negara.

Sebetulnya, jika mau jadikan 1 Juni sebagai “ingat dan ingatan” pada sejarah lahirnya Panacasila, maka nuansa April sebagai contoh menarik. Setiap bulan April, nyaris seluruh elemen bangsa, mengisinya dengan ingatatan terhadap RA Kartini. Banyak sekali kegiatan di RT/RW, Sekolah, Lembaga Tinggi, dan Kantor Negara maupun Swasta, jadikan April sebagai nuansa Kartini.  Walau 21 April bukan Hari Libur, namun, perayaan sebagai Kartini Day mewarnai sepanjang April.

Sekali lagi, “Apa mau dikata”

Hari itu, 1 Juni 2016, di Gedung Merdeka Bandung, Jawa Barat, sekitar pukul 11.10 WIB, Presiden Jokowi, menyatakan  “Dengan mengucap bismillah, tanggal 1 Juni ditetapkan diliburkan dan diperingati sebangai Hari Lahir Pancasila.”

Kemudian disambut tepuk tangan riuh dari seluruh tamu undangan, dan penandatanganan Keppres  Hari libur 1 Juni, serta berlaku mulai tahun 2017. Nah, semua sudah terjadi. Walau tak setuju, saya bisa menerima. Lalu, setelah menerimanya, apa yang harus dilakukan!? Tentu saja, mungkin “menunggu jobs jadi Narsum diskusi publik” atau malah susun jadwal berlibur!? Apalagi sudah menjadi “orang pintar yang tua dan di luar kampus,” tentu akan terlupakan seiring dengan muncul orang-orang muda yang smart.

Ok lah.

Jika 1 Juni sebagai hari libur maka hendaknya, perlu diatur oleh, (tapi oleh siapa), agar nuansa perayaannya “sama dengan” Kartinian pada setiap bulan April.

Dengan itu, yang terjadi adalah Juni sebagai “Bulan Pancasila;”  Ya, Bulan Pancasila yang diisi dengan berbagai kegiatan bersama dan kebersamaan kegiatan, yang di dalamnya Eka Prasetia Panca Karsa menjadi bahan dasar atau landasan berpijak.

Bulan Pancasila akan menjadi momen diskusi, pertemuan warga, seminar, pesta rakyat, dan lain sebagainya; yang di dalam nuansa Sila-sila Pancasila menjadi ikon-ikon menyemarak suasana.   Tentu, jika idea Bulan Pancasila itu terjadi, maka perlu semacam “model acuan” dari pemerintah, kemudian diikuti oleh segenap elemen masyarkat. [Note: Lihat saja pada Kartinian, suatu pembiasaan yang telah terjadi sejak lama. Sehingga setiap April, orang Indonesia sudah terbiasa dan menjadi biasa jika pada April ada nuansa perempuan di berbagai kegiatan sosial, pendidikan, perkantoran., dan lain sebagainya].

Lalu, bagaimana dengan “Bulan Pancasila!?” Tentu, perlu mencari bentuknya. Butir-butirnya sudah ada, lihat suplemen, tinggal diaplikasikan ke dalam bentuk-bentuk kegiatan, lomba, pameran, seni, dan seterusnya.

Kita nunggu, Tahun depan. Apa yang terjadi

 

Entah sengaja atau tidak, ku berpikir “selandainya GARUDA tak berwarna”; apakah masih disebut GARUDA atau sudah menjadi ADURAG? (sebutan amburadul, yang merupakan cerminan amburadulnya bangsa ini sekarang).

Mungkin, cuma diriku yang berpikir seperti itu; dan tak ada di antara anak bangsa ini, berpikir ‘aneh’ seperti ku; berpikir sambil membayangkan GARUDA TAK BERWARNA.

Garuda bisa tak berwarna dan menangis karena

  • Uang, Kuasa, Kekuasaan, yang MAHA utama, dahsyat, dan berkuasa
  • Kemanusiaan telah sirna, dan keadilan hanya untuk mereka yang mempunyai UANG, KUASA, serta KEKUASAAN
  • Nusantara semakin terpecah akibat Sentimen SARA
  • Rakyat telah kehilangan pemimpin yang bijak
  • Rakyat sudah tak mempunyai harapan untuk mengapai keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan

Garuda menangis karena ia melihat di tengah-tengah bangsa sudah tidak ada lagi kebenaran, tanpa keadilan, hilang kepercayaan; segala sesuatu bukan menjadi lebih baik tetapi semakin menuju kehancuran, terjerumus ke jurang yang dalam, jurang kegelapan.

Kini, GARUDA semakin imaginatif, hampir-hampir tak bermakna, hampir-hampir tidak diperhatikan, karena semua membuat garudanya sendiri

Kini, GARUDA semakin imaginatif, hampir-hampir tak bermakna, hampir-hampir tidak diperhatikan; sehingga, kuhanya berteriak

  • Jangan biarkan SAYAP-SAYAP GARUDA berguguran karena aneka PERBEDAAN pada BANGSA INDONESIA
  • Jangan biarkan GARUDA telanjang
  • Jangan mencabut bulu-bulu pada GARUDA
  • Jangan mematahkan SAYAP-SAYAP GARUDA
  • Jangan biarkan kaki GARUDA melepaskan CENGKRAMAN pada BHINNEKA TUNGGAL IKA

 

Opa Jappy, Indonesia Hari Ini