Screenshot_20231008_062905_Samsung Notes

Menanggapi Pesan di WA, Dokter Tercepat, Pendeta Terbelakang

Jagakarsa, Jakarta Selatan | Dirimu, ya Anda yang sementara baca, pernah mengalami “Pesan yang dikirim melalui WA atau pun SMS, tidak dibaca atau tanggapan, bahkan tidak ada reaksi apa pun dari penerima?” Padahal, pesan yang dikirim tersebut, cukup penting dan perlu tanggapan cepat.

Jika, Ya! Maka itu sama dengan jutaan orang di Seluruh Dunia. Ya. Sangat banyak orang kurang cepat menanggapi pesan yang mereka terima (melalui berbagai platform Aplikasi Medsos).

Mungkin mereka lupa bahwa, Mengirim pesan di Media Sosial, mempunyai makna bahwa Si Pengirim inginkan hal yang dibahas di/melalui kotak pesan, tidak diketahui oleh orang lain atau hanya terbatas pada Pengirim dan Yang Dikirim.”

Kali ini, kurangnya tanggapan pada sejumlah orang terhadap pesan pendek tersebutlah yang menjadi perhatian saya (dan Tim). Kami melakukan semacam eksperimen sosial atau ‘survei kecil-kecilan.’

Survei dilakukan pada Juli 2021, Desember 2021, Juli 2022; melalui beberapa tahap, yaitu

Mendapat kepastian bahwa nomor hp/WA (saya dan Tim) ada di daftar kontak calon penerima pesan dan survei

Membuat empat daftar Broadcast (fasilitas dan fitur dari WA; masing-masing broadcast mencapai 256 penerima atau nomor WA). Kemudian, memilih dan memilah nomor kontak (untuk broadcast) sehingga penerima mewakili semua provinsi di Indonesia.

Usia penerima 25-70 tahun; dan dari berbagai latar belakang. Masing-masing profesi ataupun hubungan sebanyak 100 orang (termasuk anggota keluarga atau kerabat)

Agar tidak sulit menghitung, maka jumlah penerima/nomor WA di broadcast dibulatkan menjadi 1000 orang.

Mengirim pesan melalui broadcast WA secara berkala pada Juli 2021, Desember 2021, Juli 2022. Konten pesan, “Apa Khabar?” dan link plus kutipan singkat artikel.

Mendapat kepastian bahwa pesam tersebut diterima penerima; ditandai dua contreng biru.

Setelah tahapan di atas, Tim menunggu tanggapan atau jawaban dari penerima broadcast.

Karena konten pesan, “Apa Khabar?” dan link plus kutipan singkat artikel, maka jawaban dari penerima antara lain, “Kabar Baik, Puji Tuhan, Alhamdulillah,” atau pun komentar terhadap artikel.

Penerima menjawab atau beri tanggapan pada Real Time, atau menit 00 hingga menit 60.00

  1. Tenaga Medis (Dokter, Apoteker, Perawat), dari 100 penerima pesan, 90 atau 90% menjawab pada real time
  2. Aparat Keamanan (Anggota Polri dan TNI), 100, 80, atau 80%
  3. Anggota Keluarga, 100, 70 atau 70%
  4. Teman Dekat dan sahabat, 100, 60 atau 60%
  5. Kenalan (Teman tidak dekat), 100, 50 atau 50%
  6. Rekan kerja (pimpinan/atasan dan bawahan, 100, 40 atau 40%
  7. Rekan dan Kenalan yang berhutang pada anggota Tim pengirim pesan, 100, 20 atau 20%
  8. Rohaniawan Agama (Pendeta, Ustadz, Pastor, Pengurus Gereja, Pengurus Masjid/Musholla), 100, 10 atau 10%

Lain-lain penerima, seperti Mas Tukang Sampah, Mbak Asisten RT, Pengirim air galon, Petugas Ronda, tidak dipresentasikan.

Jawaban atau tanggapan dari penerima pesan setelah real time, tetap atau tak berubah.

Note

Tanggapan dari Tenaga Medis. Dari hasil tersebut (di atas), bisa disebut bahwa bahwa tenaga medis memiliki perhatian yang sangat besar pada interaksi dan komunikasi (sosial dan interpersonal). Atau, mungkin saja, karena pada 2021 Covid-19 masih garang, sehingga mereka sangat perhatian pada kesehatan rekan-rekannya.

Dari survei, Tim juga mendapati, jika memberikan pertanyaan lanjutan ke para tenaga medis, pada real time, maka mendapat jawaban dalam waktu yang cepat.

Aparat Keamanan. Kelompok yang ini, umumnya berikan jawaban yang bersifat waspada dan keamanan.

Jawaban dari penerima lainnya, standar, misalnya, “Baik-baik juga Om!” Kecuali yang berhutang, selain jawaban standar, ditambah, “Maaf ya, belum bisa transfer!’

Tanggapan dari Rohaniawan Agama (Pendeta, Ustadz, Pastor, Pengurus Gereja, Pengurus Masjid/Musholla), yang hanya 10% menjawab pesan pada real time, ini mengejutkan Tim.

Tadinya, Tim berpikir bahwa Rohaniawan Agama (akan) menempati urutan pertama hasil survei, ternyata salah atau meleset. Bahkan ada Pendeta, Pastor, Ustad, Kyai yang sama sekali tidak memberi tanggapan. Prihatin, tapi, faktanya seperti itu. Penyebabnya? Entahlah!

Mungkin saja para Rohaniawan Agama lupa bahwa fitur pesan di Medsos, termasuk WA, bisa menjadi kunjungan atau visitasi virtual ke/pada umat. Ini adalah Visitasi Virtual dan Sapaan Pastoral yang termurah dan sangat gampang.

Misalnya, hanya dengan kata-kata, “Apa Khabar!?” dari Rohaniawan, umat sudah memaknai itu sebagai perhatian dan kedekatan; jadi, bukan karena dibutuhkan baru menghubungi mereka.

Agaknya para Rohaniawan Agama yang tugasnya “mengobati sakit rohani” kalah jauh dalam interaksi sosial dengan para Tenaga Medis. Padahal, Rohaniawan juga termasuk “dokter” yang mengobati luka-luka bathin dan derita rohani.

Cukuplah!

Opa Jappy |  Jakarta News 

img-20190914-wa0001-5d7c300a0d823066d57485a2

Semarang, Jawa Tengah | Kabar baik dari We Are Sosial, (Lembaga Survey yang punya nama besar dan pengalaman), bahwa pada Januari 203, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai tercatat sebanyak 212,9 juta orang. Dari jumlah tersebut, 98,3% pengguna internet di Indonesia menggunakan telepon genggam. Dan, rata-rata orang Indonesia menggunakan internet selama 7 jam 42 menit per hari.

Dari “Waktu untuk Internet” tersebut, platform terfavorit mereka adalah jejaring atau aplikasi Medsos. Bahkan setiap hari mereka habiskan waktu rata-rata 180 menit untuk mengakses Medsos. Tapi, minim menemukan informasi baru, refrensi, membaca artikel, atau pun jurnal ilmiah, serta news yang positif dan bermanfaat.

Mengakses Internet berdasar usia (pada keragaman status sosial dan profesi]

  1. Kelompok usia 16-24 tahun. Perempuan, rata-rata 193 menit/hari, Laki-laki, rata-rata 163 menit/hari
  2. Kelompok usia 25-34 tahun. Perempuan, rata-rata 170 menit/hari, Laki-laki, rata-rata 154 menit/hari
  3. Kelompok usia 35-44 tahun Perempuan, rata-rata 147 menit/hari, Laki-laki, rata-rata 135 menit/hari
  4. Kelompok usia 45-55 tahun. Perempuan rata-rata 123 menit/hari, Laki-laki, rata-rata 108 menit/hari
  5. Kelompok usia 55 tahun ke atas. Perempuan, rata-rata 93 menit/ hari, Laki-laki, rata-rata habiskan 78 menit/hari

Dari “Waktu untuk Medsos” tersebut, didapat data bahwa aplikasi Medsos terfavorit digunakan (banyak orang, termasuk di Indonesia), adalah

  1. WA, rata-rata akses atau lihat setiap 5 Menit
  2. IG, rata-rata akses atau lihat setiap 30 Menit
  3. YouTube, rata-rata akses atau lihat setiap 2 Jam
  4. Selanjutnya search machine seperti google, yahoo, bing, dan opera diakses sesuai kebutuhan atau mencari data, informasi, gossip, lihat foto, dan seterusnya

Dari hal-hal di atas, perhatikan, “rata-rata seseorang mengakses atau lihat WA adalah 5 Menit.” Artinya, setiap 5 menit, bahkan kurang dari itu, seseorang melihat hp atau pun pesan WA (di hp) yang tampil di layar telepon.

Nah!.

Anda pernah kirim pesan WA, hingga sekian lama (berjam-jam, bahkan berhari-hari) tetap satu ✔️ atau dua ✔️✔️ dan tidak warna biru (tanda tidak atau belum dibaca)?

Jika ya, maka Si Penerima mungkin saja tidak simpan nomor kontak dan tak mengenal Anda. Atau, menilai pesan dari Anda adalah sesuatu yang tidak penting. Ia mengabaikan pesan dari Anda. Sebab, kemungkinan besar, di hadapannya, dirimu tak penting, buat apa baca pesan dari Anda?

Jika seperti itu atau sering terjadi, maka (i) lebih baik hapus nomor HP/WA orang tersebut dari daftar kontak, (ii) putuskan interaksi virtual, (iii) jika bertemu maka sikapi sebagai orang baru dikenal atau pun belum mengenal, (iv) lupakan atau hapus memori tentang dirinya dari hidup dan kehidupanmu.

Buat apa berinteraksi dengan orang yang menilai dirimu tak penting?

Mungkin saja para Rohaniawan Agama lupa bahwa fitur pesan di Medsos, termasuk WA, bisa menjadi kunjungan atau visitasi virtual ke/pada umat. Ini adalah Visitasi Virtual dan Sapaan Pastoral yang termurah dan sangat gampang.
Misalnya, hanya dengan kata-kata, “Apa Khabar!?” dari Rohaniawan, umat sudah memaknai itu sebagai perhatian dan kedekatan; jadi, bukan karena dibutuhkan baru menghubungi mereka.
Agaknya para Rohaniawan Agama yang tugasnya “mengobati sakit rohani” kalah jauh dalam interaksi sosial dengan para Tenaga Medis. Padahal, Rohaniawan juga termasuk “dokter” yang mengobati luka-luka bathin dan derita rohani.