Screenshot_20231008_062905_Samsung Notes

Politisi, Akademisi, Mahasiswa Gagal Paham Merusak Demokrasi Melalui Backsliding Demokrasi, oleh Opa Jappy

Bojong Gede, Jawa Barat | Beberapa hari lalu, virall di Medsos, poster digital rencana aksi demonstrasi bertajuk Geruduk Istana, para pelakon (sandiwara komedi politik), katanya, menuntut turunkan or lengserkan Presiden Jokowi. Mereka, mau and katenye, mendesak MPR RI menggelar Sidang Istimewa menurunkan Jokowi.

Para Mahasiswa (yang mungkin cara berpikir setara PAUD) tersebut, mengajak teman-temannya yang sejenis sehingga mencapai 100 ribu orang plus dress code pita hitam. Pada poster digital itu ada logo-logo HMI, PMII, GMKI, GMNI, PMKRI, KAMMI, IMM, BEM UI, BEM UGM, BEM ITB, dan lainnya.

Ruaaaaar Biasa! Monggolah beraksi dan berdemo. Tali, ingat jangan Anarkis serta Membuka Jalan agar preman-preman dan teroris ikutan bergerak serta merusak suasana.

Selain pergerakan Mahasiswa PAUD tersebut, ada juga Sejumlah Akademisi Partisan dari PTN/PTS ikut-ikutan memanas-manasin sikon dan suasana Politik. Mereka gunakan Kebebebasan Akademik serta kedudukan/jabatan yang terbilang Elite Pendidik, melakukan/menyampaikan gerakan moral, katenye, memperbaiki demokrasi (karena dirusak oleh Presiden Joko Widodo). Wadoooh.

(Jika) Aksi-aksi dan Demo -oleh/dari- Mahasiswa, boleh-boleh lah; namanya juga Anak-anak, mereka harus diberi dan mendapat ruang untuk bermain-main. Dunia mereka adalah “Dunia Bermain,” maka biarlah mereka bermain, berpanas ria, teriak-teriak, berlelah, dlsbnya mungkin karena tak ada ruang untuk itu di rumah. Tapi, jika para Elite Pendidik yang lakukan seperti Anak-anak yang Bermain-main; (tanya) “Masuk Akal?” Monggo Jawab Sendiri ya.

Kampus, di sana full insan-insan terdidik, pendidik, dan peserta didik, fungsi utamanya adalah Mendidik, bukan yang lain. Di/dan dari sana, seharusnya memancarkan dan bertindak netral; serta menjauh plus tidak bermain dalam politik praktis.

Namun, apa yang terjadi? Justru mereka menggunakan simbol Universitas (termasuk Univ Negeri) dalam frame penyampaian orasi serta narasi negatif, merusak, tidak mendidik, dan cenderung menyampaikan produk gagal logika. Apalagi, pada ranah Berbangsa dan Bernegara, mayoritas rakyat Indonesia sangat menghargai serta menghormati para Pendidik, termasuk Guru Besar di Kampus. Mereka dinilai sebagai Kaum Bijak, Kiblat Ilmu, dan Suhu pada bidangnya. Sehingga ucapan, orasi, narasi mereka, diterima sebagai kebenaran (hasil telaah) intelektual.

Lalu, jika mereka (Anak-anak dan Akademisi di Kampus) menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo mencederai demokrasi pada Pilpres/Pemilu 2024. Dari mana atau apa dasarnya mereka berseru seperti itu?

Justru mereka melakukan berbagai kegiatan dan menyampaikan orasi serta narasi Pelanggaran Demokrasi. Dengan asumsi bahwa telah terjadi adalah “Pelaksana Pemilu/Pilpres tidak menghargai para warga yang mempunyai hak pilih.”  Oleh sebab itu harus ada gerakan moral untuk memperbaikinya. Tapi sebetulnya Mengdegradasi Demokrasi.  Itu bukan lagi kritik (dan kritisi), tapi narasi negatif yang menyudutkan Jokowi; jauh dari koridor kritikan.

“Mengapa Seperti Itu?”

Sebetulnya perilaku tersebut didorong oleh keyakinan bahwa lawan-lawan Politik (akan) merusak demokrasi terlebih dahulu. Mereka yakin bahwa telah terjadi upaya menumbangkan norma-norma demokrasi (yang dilakukan oleh Lawan Politik). Oleh sabab itu, harus ada upaya perlawanan; aksi karena ada aksi sebelumnya.

Padahal, Lawan Politik (yang dituduh dan tertuding) lebih berkomitmen terhadap norma-norma demokrasi. Sehingga lebih berkomitmen untuk menegakkan norma-norma demokrasi, serta kurang (dan tidak) bersedia memilih kandidat yang melanggar norma-norma tersebut.

Bahkan, fakta menunjukkan (dari Publikasi media) bahwa mereka yang paling nyaring berbunyi tentang terjadi kecurangan dan pelanggaran  pada proses General Election dan Presiden Election adalah pemicu dan pelaku utama kemunduran demokrasi dengan menuduh lawan-lawan Politik menumbangkan demokrasi.

Backsliding Demokrasi

Itulah Backsliding Demokrasi, diikuti dengan para Politisi secara TSM melakukan Pembodohan terhadap Pemilih yang kurang pendidikan. Pembodohan yang dibungkus oleh frame Era Jokowi (Periode 2), Ia melakukan Backsliding Demokrasi. Tuduhan yang muncul hanya karena Gibran Cawapres, serta tudingan bahwa Jokowi tidak mendukung Gandjar Pranowo sebagai Calon Presiden atau pun “Penerusnya.”

Lalu, Betulkah Jokowi melakukan Backsliding Demokrasi? Backsliding Demokrasi atau Kemunduran Demokrasi, atau pelemahan atau penghapusan lembaga-lembaga politik yang menopang demokrasi, telah dilakukan Jokowi, seperti yang dituduhkan ke/padanya. Jika benar, maka

Ciri Utama Backsliding Demokrasi

  1. Menutup Media Pemberitaan/Penyiaran atau TV/Radio/Berita/Web Berita Onlie yang Mengkritik Pemerintah
  2. Menangkap, penjarakan, menculik, dan membunuh Jurnalis
  3. Membubarkan Parpol Oposisi
  4. Larangan Aksi Parlemen Jalanan, Demo, Gerakan Massa
  5. Militer dan Polisi melakukan operasi senyap untuk pembungkaman terhadap aktivis sipil
  6. Penanangkapan dan penjarakan (tanpa diadili) Orang-orang yang dicurigai Oposisi terhadap Pemerintah
  7. Pembatasan terhadap kumpulan massa
  8. Kontrol dan Pengawasan terhadap Kebebasan Akademik
  9. dan lain-lain

Saya menantang para, *Politisi, Parpol Akademisi, Mahasiswa, Profesor, dll untuk Debat atau Menjawab dengan Cerdas, Opa Jappy, +62 81 81 26 858

Faktanya, Presiden, Polisi, Militer tidak melakukan hal-hal tersebut. Justru, secara umum mencerminkan kemajuan dan bukan kemunduran demokrasi. Maka, saya pun berbisik pada diri sendiri, “Jika ada kemunduran maka coba bandingkanlah dengan kediktatoran di masa lalu.”

Kampanye atau Apa?

Kampanye, terjadi atau dilakukan pada semua bidang, utamanya kegiatan yang bersifat mempengaruhi orang lain untuk memilih seseorang, kelompok, atau hasil produksi tertentu. Demikian juga (yang terjadi) pada Pilpres RI tahun 2024, semua calon presiden dan wakil presiden (akan) melakukan kampanye tertutup (dalam/di ruangan) dan terbuka atau area terbuka yang tanpa batas. Isi atau muatan dalam/di pada waktu kampanye pun, wajib berisi sejumlah visi, misi, program, janji politik, dan lain sebagainya yang bersifat (upaya) menarik perhatian, mempengaruhi, dan menjadikan orang lain tertarik (dan juga memilih) orang (dan visi, misi, program, dan janji) yang dikampanyekan atau ditawarkan.

Prediksi Kampanye Pemilu/Pilpres 2024

Lalu, apakah ketiga pasangan Capres/Cawapres melakukan hal-hal seharusnya? Terulang pada penilaian Anda. Tapi, ternyata tidak terdengar dari Orasi dan Narasi pada waktu Kampanye.

Faktanya, mereka tersebut betul-betul tidak mampu mengedukasi publik secara politik. Tapi, memunculkan Sentimen Perlawanan dan Mengalahkan Musuh.

Sehingga, nantinya, 14 Februari 2024, terutama untuk Memilih Presiden, Para Pemilih kemungkinan_ memilih hanya karena Sentimen Mengalahkan Lawan Politik bukan karena Memilih Pemimpin.

Sungguh, Dana Rakyat untuk Mendapat Pemimpin, menjadi Sia-sia dan Mubazir

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini
WA +62 81 81 26 858