Screenshot_20240421_122727_Photo Editor

Cianjur, Jawa Barat | Manusia sebagai Korban yang dipersembahkan kepada Dewa-Dewi? Itu memang (pernah) ada dalam sejarah hidup serta kehidupan manusia, sejak masa kuno hingga era modern. Ritus seperti, sesuai masa, sikon dan konteksnya buka merupakan sesuatu jahat, apalagi dinilai sebagai “di luar peri kemanusiaan.”

Ritus, ritual, ibadah korban, yang dilakukan manusia, kepada Dewa-Dewi, terlah terjadi atau dilakukan sejak masa lalu, mereka meyakini ada kekuatan besar di luar dirinya/mereka mempengaruhi hidup dan kehidupan. Itu adalah naluri religius yang universal. Kekuatan Besar tersebut, pada masa kini, disebut sebagai Dewa-Dewi.

Pada frame keyakinan, masa lalu, tersebut, Dewa-Dewi harus dihormati, mendapat penghormatan tinggi agar mereka memberi keuntungan, perlindungan, berkat pada manusia. Caranya, secara berkala dan tetap, memberikan korban flora, fauna, dan manusia kepada para Dewa-dewi tersebut.

Sejalan dengan perkembangan zaman dan perubahan hidup dan kehidupan, maka ritus dan ritual kuno yang menjadikan manusia sebagai korban tersebut berangsur hilang; dan dilarang oleh Negara.

1. Dinasti Shang

steemit.com

Kebudayaan pertama yang mengambil nyawa manusia adalah Dinasti Shang (1600 – 1400 SM) di Tiongkok. Hal ini terbukti dari tulisan pada tulang sapi atau cangkang penyu yang sering dipakai oleh para peramal pada zaman itu sebelum mengambil keputusan. Tentu saja, tulang-tulang ini hanya bisa dibaca oleh para peramal dan sang penguasa.

Pada 1899, para arkeolog Tiongkok melakukan penggalian di daerah Yinxu, dekat Anyang, Provinsi Henan, dan menemukan tulang ramalan dari sapi dan cangkang penyu. Mereka menemukan kuburan massal berisi 10 hingga 50 tulang belulang manusia yang ternyata dijadikan korban!

Menurut “Human Sacrifice during Shang Dynasty,” 2015, Asisten Profesor Departemen Komunikasi, Seni, dan Sains Pennsylvania State University, Keren Wang, Dinasti Shang menyaksikan dua jenis pengorbanan manusia yang dilakukan secara berkala, yaitu Xunzang (殉葬) dan Renji (人祭).

Xunzang (yang berarti “kesyahidan”) adalah ritual pengorbanan yang dilakukan saat seorang penguasa Dinasti Shang meninggal. Para pelayan pribadi dari mendiang penguasa tersebut diharuskan bunuh diri untuk menemani sang penguasa di alam baka. Korban bisa berjenis kelamin laki-laki atau perempuan tergantung dari pelayan pribadinya. Sementara keadaan korban lebih terhormat pada upacara Xunzang, tulang belulang yang ditemukan hasil upacara Renji jauh lebih mengenaskan.

Jika terjadi kelaparan, maka akan dilangsungkan upacara Renji (yang secara harafiah berarti “korban manusia”). Yang biasa dikorbankan adalah kaum laki-laki dan tahanan perang dari luar Dinasti Shang. Jarang rakyat dari Dinasti Shang yang dikorbankan, kecuali para penjahat. Mereka lalu disembelih dan dikubur di sebuah lubang besar atau dibakar.

Pengorbanan manusia Renji terbesar pada waktu itu dilakukan oleh Wuding (memerintah pada 1250 – 1192 SM). Ia mengorbankan 9.000 nyawa manusia demi memuaskan Dewa Shang-Di!

2. Kartago

commons.wikipedia.org

Kartago “dulunya” adalah kota modern yang sekarang sudah menjadi Tunis, ibukota Tunisia, Afrika Utara. Masyarakat Kartago diketahui melakukan sejumlah ritual pengorbanan.

Di Tunis, terdapat satu situs peninggalan Kartago terbesar tempat hal mengerikan itu terjadi, yaitu Tophet Salammbó. “Tophet” berasal dari bahasa Ibrani untuk menggambarkan tempat di mana bangsa Israel berdosa kepada Tuhan dengan mengikuti ritual bangsa lain dan mengorbankan anak mereka.

Ada beberapa upacara ritual brutal di mana masyarakat kelas atas akan mengorbankan anak-anak mereka yang masih bayi. Dikarenakan memakan biaya mahal, seringnya, masyarakat kelas atas di Kartago yang mengorbankan anak sulung mereka agar mendapat berkah para dewa.

Tidak sampai di situ, terkadang mereka terlalu sayang dengan anak, berharap bisa menipu para dewa, dengan mengambil anak pelayan mereka atau membeli anak agar dapat dibesarkan lalu dikorbankan ke para Dewa

toptenz.net

Sang bayi hidup-hidup dibakar di hadapan patung dewa Ba’al Hammon. diletakkan di tangan patung Ba’al Hammon yang mengarah ke bawah, ke arah jurang dengan api yang menyala.

Menurut Sejarawan Kuno, dari Diodorus Siculus hingga Plutarch,  ritual ini dilakukan demi keuntungan bisnis. Selain anak, hewan pun juga dikorbankan. Ritual tersebut dihentikan pada masa Kekaisaran Akhemeniyah

3. Tanzania dan Malawi

amnesty.org

Ritus kuno di Afrika ini, ternyata masih terjadi di era modern. The Guardian, 2015, melaporkan bahwa kepolisian Tanzania, Afrika Utara, menangkap 32 dukun yang diketahui terlibat pada satu praktik pengorbanan manusia.

Dukun-dukun ini tidak menyerang sembarangan orang. Mereka hanya menyerang kaum pengidap albinisme, seseorang yang menderita kekurangan pigmen sehingga kulit mereka putih. Bagi mereka, kaum albino adalah hasil perselingkuhan orang Afrika dengan orang kulit putih sehingga pantas untuk dikorbankan. Karena keyakinan ini, sekitar 100 orang albino menjadi korban; organnya diambil dan digunakan sebagai jimat berharga dari jutaan hingga miliaran rupiah.

Pada 2009, saat Tanzania akan mengadakan pemilihan umum, terjadi kenaikan pada kasus perburuan kaum albino, sampai-sampai mereka harus ditempatkan di rumah perlindungan khusus. Presiden Tanzania saat itu, Jakaya Kikwete, menangkap para dukun tersebut karena kasus pembunuhan. Pada 2015, akhirnya Tanzania melarang adanya praktik perdukunan dan perburuan kaum albino.

The Telegraph, 2009 melaporkan bahwa praktik tersebut masih berlangsung hanya berganti wilayah, ke Malawi, Afrika Tenggara. Orang Malawi memburu kaum albino untuk dijadikan jimat agar bisa menang di ranah politik. Saat pemilihan umum di Malawi mendekat, mereka melihat semakin banyak orang albino yang diburu.

4. Romawi Kuno

ancient-origins.net

Peradaban Kartago, yang pernah menaklukan Romawi pada 216 SM, sempat terutama pada pertempuran dasyat di Cannae. Hasilnya, rakyat Romawi pun ikut tertular dengan praktik pengorbanan manusia.

Sejarawan Dionysios dari Halikarnassos menyatakan bahwa terdapat praktik Argei, yaitu pengorbanan kaum manusia lanjut usia (manula) dengan cara menghanyutkan mereka ke sungai. Kemudian, praktik Argei digantikan dengan orang-orangan sawah agar lebih manusiawi.

Menurut Titus Livius, saat Kekaisaran Romawi takluk pada Kartago, dua orang Yunani dan dua orang Galia dikubur hidup-hidup di Forum Boarium. Mereka sebagai korban untuk para Dewa agar melepaskan mereka dari genggaman Hannibal.

Warga Romawi Kuno juga mengorbankan Perawan Vesta, imam wanita untuk Dewi Vesta, jika mereka terbukti “ternoda”. Mereka dikurung di kamar batu hingga mati kelaparan atau dihanyutkan ke sungai demi pengampunan dari Dewi Vesta. Selain Perawan Vesta, warga Romawi juga mengorbankan anak-anak hermafrodit karena “sebagai anada terkutuk.”

Saat menangkap kaum Kelt di Galia, Romawi kuno membuntungkan tangan dan kaki mereka dan membiarkan mereka kehabisan darah. Alasannya, kaum Kelt yang melakukan pengorbanan manusia, sehingga pantas dibunuh!

5. Jepang

japan-guide.com

Dalam Nihon Shoki (日本書紀), terdapat catatan tentang praktik hitobashira (人柱) yang artinya “pilar manusia”, pengorbanan manusia dengan “menanamkannya” pada pondasi bangunan seperti istana, waduk, atau jembatan. Hitobashira sebagai korban agar para dewa melindungi bangunan-bangunan tersebut dari bencana.

Salah satu kisah hitobashira paling terkenal adalah pembangunan Kastil Maruoka di Prefektur Fukui, pada 1576. Kisah tersebut dinamai “O-Shizu, Hitobashira“, tentang seorang wanita bernama O-Shizu yang setuju menjadi hitobashira asalkan putranya dijadikan samurai.

6. Maya

twitter.com/@Cuauhtemoc_1521

Suku Maya adalah suku yang manusia untuk Dewa Hujan, Chaac. Jejaknya terlihat pada Piramida Kukulcan El Castillo di Chichen Itza, komplek peninggalan suku Maya di Yucatan, Meksiko.

Para korban diberi warna biru di sekujur tubuh sebagai tanda penghormatan untuk Dewa Chaac. Dari seluruh metode, biasanya ekstraksi jantung adalah yang paling sering, terutama pada zaman Pascaklasik (900 – 1524). Jantung, apalagi yang masih berdegup, dianggap sebagai “makanan kesukaan” para dewa. Kaum Maya juga mengenal sepak bola; Sepak bola Maya, yang kalah akan dijadikan tumbal untuk Dewa Chaac.

Hanya sebagai penggambaran, inilah simulasi rumitnya prosesi ekstraksi jantung kaum Maya yang dilakukan oleh ahli medis. Bayangkan sakitnya!

Loading video

Korban dibaringkan di atas altar batu dan dipegangi oleh empat orang yang juga diwarnai biru, melambangkan empat Dewa Chaac dari empat arah mata angin.

Kemudian, Algojo (nacom) menyayat dada kiri korban untuk mengeluarkan jantungnya yang masih berdegup! Proses tersebut diharuskan selesai dalam waktu 20 detik agar tetap fresh. Korban tidak dibius sama. Nacom kemudian menyerahkan jantung itu kepada sang rahib (chilan) agar darahnya dapat ditorehkan pada gambar Dewa Chaac.

Sisa-sisa tubuh korban dibuang ke sumur atau dilemparkan ke bawah, agar dikuliti oleh rahib. Kulit korban dipakai oleh sang chilan sebagai pakaian tari yang melambangkan “kehidupan”.

Jika yang dikorbankan adalah ksatria terhormat, maka tubuhnya disembelih dan dimakan oleh masyarakat dan rekan ksatria. Jika yang dikorbankan adalah tahanan perang, maka tulang tangan dan kaki korban dipakai oleh chilan sebagai tanda penghargaan.

SUARA PKR

Sumber Utama, IDNTIMES