Screenshot_20231008_062905_Samsung Notes

Mengapa agama atau agama-agama perlu membicarakan ketulusan? Apakah ketulusan itu? Dapatkah hubungan antarpemeluk agama berlangsung dengan baik dan aman tanpa ketulusan? Inilah di antara pertanyaan kunci, di samping kemungkinan munculnya pertanyaan lain yang relevan, yang hendak disampaikan pada pagi yang bahagia ini.

Pengertian Ketulusan dan Implikasinya dalam Kehidupan Kolektif Manusia

Berasal dari akar kata tulus, ketulusan berarti kejujuran, kebersihan, dan keikhlasan. Biasa juga digandeng menjadi tulus ikhlas = suci hati, jujur.[1] Perkataan ikhlas berasal dari Bahasa Arab dengan akar kata kh l sh, yang berarti murni, suci, tidak bercampur, bebas. Ikhlash (Arab) berarti pengabdian yang tulus (sincere devotion), ketulusan, kejujuran.[2] Perkataan sincere (Latin: sincerus) berarti suci bersih, dipercaya, bebas dari tipuan dan kepura-puraan, jujur, tulen, murni, dan terus terang.[3] Menurut Al-Qur’an, para nabi dan rasul adalah mereka yang tulus ikhlas, bebas dari segala macam penyakit busuk hati, berpura-pura, dan segala penyakit yang dapat meruntuhkan bangunan fitrah manusia.[4]

Begitu juga semua pemeluk agama diperintahkan Tuhan untuk berhati tulus dalam memahami dan menjalankan agama masing-masing.[5] Tanpa ketulusan, agama tak punya makna apa-apa di depan Tuhan, bahkan akan menyesatkan orang banyak dan diri sendiri. Tampaknya hampir tidak ada peradaban umat manusia yang tidak mengenal arti ketulusan dengan pemahaman yang relatif sama. Agama kemudian mempertegas dan mentransendenkan makna kandungan perkataan ketulusan itu.

Seorang yang tulus bila memberikan sesuatu kepada orang lain tidak berharap balasan apa pun kecuali rida Allah, bukan rida manusia. Dalam bahasa Al-Qur’an: “Sesungguhnya kami memberimu makan semata-mata karena keridaan Allah; tidaklah kami berharap balasan apa-apa darimu dan tidak pula ucapan terima kasih.”[6] Sikap iman semacam ini tentu juga dimiliki oleh agama-agama lain selain Islam, karena pemberian tanpa pamrih boleh jadi sepenuhnya memang berasal dari doktrin Langit, sekalipun setelah sampai di bumi sering mengalami distorsi karena kenisbian dan kelemahan manusia. Pemberian tanpa ada pamrih di belakangnya adalah bentuk ketulusan sejati.

Ketulusan sejati sulit kita jumpai dalam peradaban modern yang sekuler, jika bukan ateistik. Akan tetapi, agama sudah tentu tidak akan menyerah kepada tantangan yang serba duniawi ini. Dalam tradisi monoteisme Ibrahim, Islam adalah yang termuda setelah Yudaisme dan agama Kristen. Oleh sebab itu, kami harus belajar sebanyak-banyaknya kepada pengalaman “agama kakak” dalam menghadapi serbuan sekularisme ateistik itu.

Saudara kandung ketulusan adalah kejujuran (honesty, truthfulness). Semua agama mengajarkan kejujuran, sekalipun para penganutnya belum tentu jujur. Kejujuran adalah buah dari iman yang tulus. Ia adalah persoalan hati, bukan kerja kalkulasi otak. Dalam pengalaman sehari-hari tidak jarang kita menjumpai teman yang tidak seagama tetapi kontak hati dirasakan sangat dekat. Mengapa? Karena di sana ada ketulusan dan kejujuran. Perbedaan iman tidak menjadi penghalang untuk bertautnya dua hati anak manusia itu. Kalau demikian, ketulusan itu memang “barang” mahal.

Dalam pengalaman sejarah modern Indonesia pernah dicatat persahabatan yang erat dan produktif antara tokoh-tokoh Masyumi dengan pemimpin-pemimpin Katolik, Protestan, dan pemimpin agama lain. Masih segar dalam memori kolektif kita betapa seorang Natsir atau Prawoto Mangkusasmito begitu dekat dengan I.J. Kasimo, Herman Johannes, A.M. Tambunan, atau J. Leimena, baik pada masa revolusi kemerdekaan maupun sesudahnya. Kasimo bahkan bersama-sama tokoh Masyumi dan PSI mencoba melawan sistem politik otoritarian Soekarno pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1965/’66), sekalipun pada akhirnya kandas.

Barangkali di samping fondasi persahabatan mereka yang tulus, ada faktor lain yang semakin memperkuatnya, yaitu sama-sama memiliki idealisme dan integritas pribadi. Mereka semua adalah moralis sejati yang pernah lahir dari rahim bangsa ini. Memang J. Leimena akhirnya terkooptasi oleh Soekarno, tetapi tidak mengurangi hormat umat Islam kepadanya.

Memori-memori manis seperti itu semakin menghilang di kalangan generasi berikutnya sejak sekitar tiga dekade yang lalu oleh berbagai kemungkinan sebab. Pertama, generasi belakangan tidak mengalami revolusi kemerdekaan yang telah berhasil membangun persahabatan generasi Natsir-Kasimo-Johannes dan lainnya itu. Memang ada Gerakan ’66 kemudian, tetapi tampaknya integritas pribadi para pemimpinnya tidaklah sekokoh generasi sebelumnya.

Kedua, godaan politik memang lebih dahsyat pada era pasca Natsir-Kasimo-Johannes, hingga ketulusan seseorang sering benar terkontaminasi oleh godaan itu. Ketiga, isu kristenisasi pada masa Orde Baru telah semakin menyuburkan rasa saling curiga antara pemeluk Islam dan Kristen terutama.

Rasa saling curiga di atas sudah tentu tidak boleh dibiarkan berlanjut, sebab akibatnya dapat meremukkan tubuh dan jiwa bangsa ini. Apa yang terjadi di Maluku dengan korban jiwa dan harta yang menumpuk seharusnya menyadarkan kita semua untuk saling mengoreksi diri, hingga apa yang sering disebut provokator tidak dengan mudah merusak persaudaraan antarkita yang telah terbina sekian lama.

Di sana pada mulanya pemicu bentrok bukanlah masalah agama, tetapi masalah sosial-ekonomi dan etnis. Tetapi kemudian untuk menggalang solidaritas dan memancing emosi, agama diperalat untuk tujuan-tujuan yang tidak sehat. Agama kalau sudah disalahgunakan akibatnya bisa sangat destruktif dan mengerikan. Orang akan dengan mudah saling membunuh atas nama Tuhan.

Fenomena ini tidak saja terjadi antara pemeluk agama yang berbeda, tetapi juga terjadi di kalangan intern pemeluk agama yang sama. Situasinya dengan begitu tidak sederhana. Jika keadaan semacam ini yang berlaku, maka ketulusan dan kejujuran sebagai manifestasi yang otentik dari iman sudah tidak berdaya lagi. Yang berkuasa adalah bisikan setan yang menjerumuskan.

Agama: Sebuah Keperluan Perenial?

Untuk lebih menggambarkan posisi agama sebagai sumber doktrin ketulusan, di samping sumber kultur, ada baiknya saya ulas beberapa butir hasil renungan A.J.Toynbee (1889-1975) mengenai fungsi agama di abad teknologi ini. Pemikir sejarah dari Inggris ini adalah seorang Kristen pengagum Mahatma Gandhi. Dia menulis sepanjang 30 halaman untuk menjawab pertanyaan sentral di atas mengenai apakah agama merupakan keperluan perenial.[7] Untuk lebih memudahkan teknik pemberian jawaban, dia mengajukan beberapa anak pertanyaan dalam rangka menguatkan posisi agama sebagai sebuah keperluan abadi bagi manusia.

Anak pertanyaan itu a.l. berbunyi: Mengapa kita berada di sini? Untuk apa kita ada di sini? Apakah hidup itu sebuah rahmat atau kutukan? Manurut Toynbee, agama merupakan satu usaha untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendesak itu, sebab ilmu dan filsafat tidak mungkin memberikan jawaban tuntas. “Agama,” katanya, “adalah sebuah ikhtiar mencari jalan bagaimana mendamaikan diri kita dengan fakta-fakta yang dahsyat tentang hidup dan mati.”[8]

Yang memprihatinkan sejarawan Inggris ini adalah kenyataan bahwa betapa sulitnya mencari homo sapiens (manusia si bijak, si arif) dalam peradaban modern. Sedikit sekali, kata Toynbee, kita menunjukkan kearifan dalam mengontrol diri kita dan dalam mengatur hubungan satu sama lain. Sekiranya kita berhasil hidup dalam revolusi teknologi ini, barulah kita menjadi homo sapiens dalam hakekat dan nama.[9]

Bila kita hubungkan konsep Toynbee tentang homo sapiens yang bermakna si bijak itu dengan pembicaraan kita tentang agama dan ketulusan, kita melihat sebuah benang merah yang jelas. Ketulusan adalah sifat dasar yang menyatu dengan watak homo sapiens yang didefinisikan sebagai si bijak itu. Si bijak yang curang adalah si bijak yang palsu. Begitu juga seseorang yang memperdagangkan agama atas nama Tuhan adalah orang yang sedang main api dan mengingkari konsep ketulusan. Agama tidak dapat diperjualbelikan. Sekali diperdagangkan, agama itu telah jatuh menjadi benda duniawi yang tidak ada harganya. Dalam posisi ini agama bukan lagi sebagai suatu kebutuhan perenial.

Itulah sebabnya Toynbee memakai ungkapan higher religions untuk agama-agama yang berorientasi ke Langit dan lower religions untuk agama-agama yang melekat dengan bumi. Nasionalisme bagi Toynbee adalah bagian dari lower religions yang sering memicu konflik antarnegara.[10]

Kita kembali kepada masalah hubungan antar atau inter pemeluk agama. Dalam pengamatan saya, tidak jarang di antara umat beragama lebih mementingkan kuantitas tinimbang kualitas. Yang penting jumlah besar, sekalipun kualitas medioker. Maka tidaklah mengherankan sementara orang berpikir untuk mencari pengikut sebanyak-banyaknya. Jika perlu penduduk bumi ini digiring semua agar beriman seperti mereka. Sikap arogan dan intoleran semacam ini dikritik keras oleh Al-Qur’an dalam kalimat berikut: “Dan sekiranya Tuhanmu menghendaki, sungguh akan berimanlah manusia di muka bumi ini seluruhnya. Apakah engkau (Muhammad) ingin memaksa manusia hingga semuanya beriman?”[11]

Ayat ini, dan masih ada yang lain, dengan tegas melarang orang melakukan paksaan, kasar atau halus, dalam agama. Dalam kalimat lain, pluralisme agama dan budaya sejak ribuan tahun yang lalu sudah merupakan fakta keras dalam sejarah, dan karena itu harus diakui, dihormati, dan disyukuri. Sebab, bila dilihat dalam perspektif yang lebih luas, fenomena itu telah memperkaya bangunan kemanusiaan universal.

Akan tetapi, bagi mereka yang pendek akal, kenyataan historis tentang pluralisme agama dan budaya dipandang sebagai ancaman bagi eksistensinya. Kalau pandangan sempit ini yang dominan dalam suatu masyarakat, maka agama bukan lagi sebagai rahmat, melainkan telah berubah menjadi kutuk dan doktrin pemaksa. Sistem etika yang lahir kemudian sudah pasti adalah etika otoritarian yang memonopoli kebenaran. Kalau demikian, alangkah susahnya hidup ini! Tuhan telah menciptakan keberbagaian, tetapi sebagian manusia justru memilih serba uniformitas yang dapat mematikan ketulusan dan kejujuran.

Penutup

Persahabatan sejati hanyalah mungkin dibangun di atas fondasi iman yang kokoh yang membuahkan ketulusan dan kejujuran. Dalam kaitannya dengan masalah hubungan antarpemeluk agama, mungkin formula berikut dapat disepakati: “Berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan.” Di luar jalur formula ini, saya khawatir bahwa agama tidak lagi berfungsi sebagai sumber kedamaian dan keamanan, tetapi malah menjadi sumber sengketa dan kekacauan, dan bahkan sumber peperangan. Oleh sebab itu, Al-Qur’an memperingatkan: “Maka ambillah sinyal moral [dari pengalaman masa lampau], wahai orang yang punya penglihatan tajam!”[12]


[1] Lih. J. S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusataka Sinar Harapan, 1994, hlm. 1547; lih. juga Sheikh Othman bin Sheikh Salim, et al., Kamus Dewan (ed. baru). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986, hlm. 1400.

[2] Lih. J.M. Cowan (ed.), The Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic. Ithaca, New York: Spoken Language Service, 1976, hlm. 254-255.

[3] Lih. David B. Guralnik (ed.), Webster’s New World Dictionary. New York: the World Publishing Company, 1970, hlm. 692; lih. juga R.E. Allen (ed.), the Oxford Dictionary of Current English. New York: Oxford University Press, 1992, hlm. 700.

[4] Lih. misalnya Q s. Shad: 46.

[5] Lih. misalnya Q s. al-Bayyinah: 5.

[6] Q s. al-Insan: 9.

[7] Lih. A.J. Toynbee, Surviving the Future. New York & London: Oxford University Press, 1973, hlm. 37-67. Buku ini adalah hasil dialog pengarang dengan pemikir Jepang Prof. Kei Wakaizumi dari Universitas Kyoto Sangyo.

[8] Ibid., hlm. 38.

[9] Ibid., hlm. 44.

[10] Ibid., hlm. 58-67.

[11] Q s. Yunus: 99.

[12] Q s. al-Hasyr: 2.

Pernah disampaikan di depan peserta diskusi terbatas bertempat di Seminari Kotabaru Yogyakarta, 1-2 April 2000