Ilustrasi

Tanjung Barat, Jakarta Selatan | Kenikmatan Seks-seksual (biasanya didapat) melalui perkawinan/pernikahan, itu bisa terjadi pada manusia (laki-laki dan perempuan) yang menikah; namun bisa juga didapat dengan cara tidak biasa.”

Artinya, orang bisa melakukan itu sebagai sex pra-nikah (yang melakukan ml sebelum menikah, pada usia remaja sampai dewasa); dan sex di luar nikah (orang yang sudah menikah, namun ml dengan laki-laki atau pun perempuan yang bukan istri/suaminya).

Seks Pra-Nikah

Sex pra-nikah, (di sini, perkawinan tak berfungsi dalam dunia sex ini)telah terjadi dan merambah ke segenap lapisan usia; setiap laki-laki dan perempuan setelah akil balig, bisa melakukannya. Ada banyak peluang (dan sangat gampang didapat) untuk itu.

Akibatnya, tak sedikit kehamilan pada usia remaja, kematian akibat gagal aborsi, dan tak terhitung anak yang terlahir sebelum menikah.

Sex pra-nikah, bisa terjadi pada mereka (pasangan) yang masih pacaran, mereka (pasangan) sudah bertunangan, atau pun laki-laki dan perempuan usia dewasa yang belum menikah (namun butuh penyaluran energi seksnya).  

SPN (bukan sekolah polisi negara, tapi SEKS PRA-NIKAH), bisa dilakukan dengan pacar, tunangan, ttm, atau pun dengan laki-laki dan perempuan yang berprofesi sebagai pekerja sex komersial.

Seks Pra-Nikah (SPN) adalah sesuatu yang aib, karena (mereka yang belum menikah) bisa ketagihan, kemudian berlanjut pada seks bebas atau free sex.

Artinya, mereka akan melakukan itu, jika berganti pasangan atau pun pacar; belum lagi ancaman hamil di luar nikah yang di lanjutkan dengan (kematian akibat) aborsi. Dan lebih parah, jika tertular penyakit menular (akibat hubungan) seksual, dan HIV-aids

Seks di Luar Nikah

Sex di luar nikah, orang yang sudah menikah, namun ml dengan laki-laki atau pun perempuan yang bukan istri/suaminya.

Sex di luar nikah, juga tidak membutuhkan perkawinan; pada kegiatan ini, lembaga perkawinan tidak dibutuhkan – tidak berfungsi.

SDLN (bukan Sekolah Dasar Luar Negeri, tetapi seks di luar nikah), bisa dilakukan oleh banyak orang yang berstatus suami dan isteri; bisa dengan teman kantor, kekasih, selingkuhan, gigolo, perempuan psk, atasan, bawahan, atau bahkan dilakukan dalam arena pesta seks yang berganti-ganti pasangan, dan seterusnya.

Seks Di Luar Nikah (SDLN), juga merupakan aib (!?); ini masih juga dipertanyakan sebagai aib atau tidak.

Karena para pelaku SDLN, biasanya tidak menerimanya sebagai sesuatu yang salah, karena atas nama hubungan-kebutuhan- kesempatan.

😞😞😞

Harus diakui bahwa SPN dan SDLN telah terjadi (dilakukan) oleh banyak orang Indonesia, dari pelbagai usia dan strata sosial, rakyat kebanyakan sampai elite bangsa.

Dan banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu aib; tetapi tak sedikit yang bisa menerimanya sebagai upaya penyaluran yang normal.

Mungkin saja, ada benarnya (dan bisa diterima!?) serta tak berbahaya (risiko penyakit kelamin) jika yang melakukannya adalah pasangan mesra (yang bukan suami-isteri kerja, teman se kantor, bawahan dan bos (atasan), atau pun pasangan selingkuhan, dan lain sebagainya; kecil risiko pms, karena hanya satu (saja) pasangan ml, dan terjaga kesehatannya.

Walaupun seperti itu, SPN dan SDLN tentu bisa juga bisa berbahaya; bahayanya adalah kerusakan moral -akhlak-kebohongan-ketidakjujuran, dan itu adalah mesiu yang menghancurkan pernikahan-perkawinan.

Terpulang kepada Anda, mau melihat dari sisi yang mana (ada kehendak bebas manusia untuk menilai dan melihatnya), SDLN dan SPN itu membahayakan, jika memang melihat dari sudut bahaya.

Sebaliknya, SDLN dan SPN tidak berbahaya serta menyenangkan, jika melihat dari sisi tanpa moral, tanpa iman, tanpa agama, tanpa dosa.

5 Februari 2012

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini

Selamat pagi

Lenteng Agung, Jakarta Selatan | Salah satu dampak Sex Pra-Nikah dan di Luar Nikah adalah pada perempuan adalah hamil atau kehamilan. Hamil seperti ini, termasuk kehamilan tak terencana (pada pasangan suami istri), sering kali disebut sebagai ‘Kehamilan yang Tak Diinginkan atau KTD. Dan, biasanya KTD berdampak pada berbagai persoalan sosial, moral, psikologis, dan lain sebagainya.

Faktanya, pada satu keluarga, jika terjadi kehamilan yang tak diinginkan, misalnya anak perempuan (katakanlah masih sekolah atau kuliah), solusi tergampang adalah nikahkan dengan pacar atau yang menghamilinya. Namun, tak semua orang tua memilih solusi tersebut.

Sama halnya dengan kehamilan tak terencana pada pasangan suami istri; katakanlah masih punya bayi, tapi istri hamil lagi, ada penyakit tertentu pada ibu, bahkan ‘kehamilan istri menghambat jabatan dan karier,’ gagal kontrasepsi, dan lain sebagainya.

Fakta ekstrem seperti itu, solusi lain adalah menggugurkan kandungan atau membatalkan pertumbuhan janin di dalam rahim. Praktek inilah yang marak terjadi di seantero negeri, misalnya Indonesia. Maka muncul dan tumbuh subur ‘klinik, dukun, praktik medis’ dalam rangka ‘membantu mereka yang membutuhkan.’

Indonesia, termasuk Negara-negara di Dunia yang menolak pembatalan pertumbuhan janin di dalam rahim, dengan alasan apa pun. Tapi, di Indonesia pun, praktik tersebut boleh dilakukan karena alasan tertentu, misalnya gawat darurat medis dan kehamilan akibat pemerkosaan. Itu pun dengan sejumlah pertimbangan medis, hukum, psikologis sebagai ‘jalan terbaik dari semua yang terburuk.’

Intinya, di Indonesia dan banyak Negara di Dunia, pembatalan pertumbuhan janin di dalam rahim adalah suatu pelanggaran hukum atau tindakan kriminal. Walaupun dilakukan secara ‘soft,’ seperti menggunakan herbal, obat-obatan, dan prosedur bedah teknologi tinggi.

Sistem hukum Indonesia, perbuatan aborsi dilarang dilakukan. Bahkan perbuatan aborsi dikategorikan sebagai tindak pidana. Pelaku dan orang yang membantunya akan dikenai hukuman

Pro Kontra

Di banyak Negara, pro kontra terhadap pembatalan pertumbuhan janin di dalam rahim menjadi suatu persoalan etis sejak lama. Misalnya tahun 80an, di AS muncul kelompok pro life atau pro kehidupan, menolak; dan kelompok pro choice yang menyetujuinya.

Kelompok Pro Life berpendapat bahwa
pembatalan pertumbuhan janin di dalam rahim merupakan hal buruk, namun tetap mengizinkannya dalam syarat-syarat tertentu. Karena manusia merupakan makhluk hidup yang tidak bersalah; karena itu tidak boleh dibunuh dalam lingkup situasi apa pun. Pro Life pun melihat bahwa membiarkan janin tetap hidup merupakan menyelamatkan kehidupan (termasuk ibu serta anak) dan generasi.

Kelompok Pro Choice berpendapat bahwa janin bukan atau bukan makhluk manusiawi. Sehingga mereka ‘dibatalkan kehidupannya sebelum lahir, maka tidak logis dilukiskan sebagai tak bersalah ataupun tidak; itu adalah suatu prosedur yang bebas moral. Selain itu, perempuan memiliki hak dan kebebasan bersifat mutlak dan tidak boleh dihalangi oleh siapa pun.

Agama-agama Berpihak pada Pro Life

Bisa disebukan bahwa agama-agama lebih mengikuti argument pro kehidupan baik dalam pengertian mutlak maupun dengan syarat ketat. Serta membangun kesadaran dalam mencintai kehidupan; apa pun yang terjadi, kehidupan perlu diselamatkan, khususnya untuk menolong mereka yang harapannya berada di ujung tanduk. Ada harapan untuk dapat menikmati kehidupan yang indah dan luar biasa yang direncanakan Tuhan bagi kebaikan ciptaan-Nya.

Pada konteks tersebut, mengedepankan moral dan etika bahwa untuk nyawa manusia, hanya Tuhan yang mempunyai hak untuk mengambilnya kembali.

Janin memiliki hak hidup yang tidak boleh dirampas siapa pun, bahkan termasuk oleh ibu yang mengandungnya. Karena itu pembatalan kehidupan janin dalam rahim sama dengan melakukan pembunuhan; pembunuhan merupakan dosa yang sangat besar. Kehidupan harus dihargai sebagai anugerah Tuhan kepada manusia

Ranah Psikologi Perkembangan

Pada ranah Psikologi Perkembangan, umumnya sependapat bahwa tumbuhkembang seorang manusia mulai dalam rahim, pada usia beberapa minggu; ketika sudah tumbu organ tubuh, terutama jantung. Saat itu, sudah tercipta kehidupan.

Ia, janin tersebut, sudah dapat merasakan sakit bahkan selama trimester pertama kehamilan; dan tidak boleh melakukan tindakan yang bisa menyakitkan anak yang belum lahir.

Case Amerika Serikat

Jumat 24 Juni 2022, Mahkamah Agung Amerika Serikat mencabut hak melakukan pembatalan kehidupan janin dalam kandungan; atau membatalkan ‘perlindungan’ terhadap perempuan yang melakukannya.

Perlindungan tersebut telah terjadi sejak tahun 1973. Ada semacam keputusan hukum bahwa Negara melindungi hak perempuan untuk melakukan pembatalan kehidupan janin dalam rahim karena tiap negara bagian AS bisa memutuskan untuk melarang atau membatasi praktik tersebut. Hal tersebut, membuat Kelompok Pro Life AS pun bersuka-cita, tanda kemenangan.

Keputusan MA tersebut membuat Presiden AS Joe Biden memerah dan berang. Menurut Biden, “Itu kesalahan tragis yang berasal dari ideologi ekstrem. Itu adalah hari yang sangat menyedihkan bagi pendidikan dan warga AS. Serta, kesehatan dan kehidupan perempuan di negara ini menjadi terancam. Mereka telah menjadikan Amerika Serikat sebagai negara terasing di antara negara-negara maju di dunia. Tetapi keputusan ini tak boleh menjadi kata final.”

Biden pun meminta Kongres AS untuk membatalkan keputusan MA AS. Tapi, sebaliknya dengan rakyat AS; ada yang menyebut sebagai, “Ini adalah hari yang telah lama kami nantikan. Kami akan memasuki budaya kehidupan baru di AS.”

Keputusan MA AS pun langsung diikuti oleh sejumlah Negara Bagian; secara bersamaan melarang pembatalan kehidupan janin dalam rahim.

Konteks Kekinian Indonesia

Data global menunjukkan bahwa di seluruh Dunia, setiap tahun, terjadi sekitar 56 juta kasus pembatalan kehidupan janin dalam rahim. Itu merata pada semua benua, di Negara miskin maupun kaya. Banyak alasan, mereka lakukan hal tersebut.

Bagaimana di Indonesia? Alasan-alasan pun merata, lihat awal tulisan. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia atau SDKI 2021, tingkat pembatalan kehidupan janin dalam rahim mencapai 228 per 100 ribu angka kelahiran hidup. Ini juga yang menumbuhsuburkan klinik dan tindakan medis ilegal.

Bisa dibayangkan, berapa yang terjadi setiap hari, secara sah dan ilegal. Juga, berapa banyak kematian ibu atau perempuan yang tewas akibat salah penanganan. Lalu?

Umumnya, di Indonesia, dengan alasan keagamaan, ‘mengikuti’ Kelompok Pro Life, yang menolak pembatalan kehidupan janin dalam rahim. Namun, setiap hari terjadi Kehamilan yang Tak Diinginkan.

Maka, jika terjadi KTD (dalam keluarga), yang terjadi adalah ‘pergeseran’ ke arah menyetujui pembatalan kehidupan janin dalam kandungan, karena sejumlah alasan, (paling mengemuka adalah alasan aib keluarga dan moralitas).

Berdasarkan semuanya itu, harus ada upaya bersama untuk mencegah KTD. Selain dengan kekuatan spiritual-keagamaan; perlu edukasi publik (yang terbuka) tentang memaknai serta menghargai aspek-aspek hidup dan kehidupan. Termasuk, pada kalangan muda, memahami relationship yang berkualitas, tanpa harus ‘buka-bukaan untuk menciptakan janin dalam rahim.’ Ada banyak cara dan model untuk relationship yang berkualitas.

Cukuplah!

Hargailah Hidup dan Kehidupan sebagai Amazing Grace dari Sang Khalik

Opa Jappy | Pendiri Pro Life Indonesia