Screenshot_20231008_062905_Samsung Notes

Lenteng Agung, Jakarta Selatan | Doeloe, dalam ingatan masa lalu. Sejarah mencatat bahwa Kebangkitan Nasional 1908, tidak serta merta membangkitkan semangat keesaan dan kebersamaan sebagai Indonesia di Nusantara atau Hindia Belanda. Semangat itu telah ada, namun berjalan pelan dan ‘undercover’ karena hambatan rezim kolonial.

Gerakan ‘kalangan tua’ 1908, dilihat oleh para pemuda dan mahasiswa dari Nusantara di Belanda, perlu dipercepat; percepatan itu, harus dimulai dari kalangan mahasiswa.

Oleh sebab itu, pada tahun 1925 para mahasiswa asal Nusantara di Belanda membentuk Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda, yang lebih dikenal sebagai Perhimpunan Indonesia Sesuatu,  pada masa itu, sangat berani, sebab menohok Pemerintah Kerajaan Belanda dan para petinggi Hindia Belanda di Batavia; karena deklarasi berdirinya di jantung Negara yang menjajah Nusantara.

Pada saat yang sama, Perhimpunan Indonesia juga mengeluarkan Manifesto 1925 bahwa hanya dengan atau adanya unity (kesatuan), equality (kesetaraan) dan liberty (kemerdekaan), semua orang di Indonesia dapat menerima dan menciptakan gerakan yang kuat dan terpadu untuk memaksakan kemerdekaan kepada pihak Belanda.

Oleh sebab itu, Perhimpunan Indonesia mengembangkan empat pokok ideologi yaitu, kesatuan nasional, solidaritas, non kooperasi dan swadaya.

Gaung dari Manifesto PPI 1925 itulah, juga harus diakui sebagai salah satu pendorong Kongres Pemuda/i Indonesia di Hindia Belanda.

Sebetulnya, Kongres Pemuda Indonesia I pada 30 April-2 Mei 1926, hanya merupakan rapat akhbar ‘Panitia Kongres Putera/i Indonesia’ dalam rangka Kongres Pemuda (yang akan diadakan) pada 1928. Pada Kongres I ini, hadir wakil-wakil Perhimpunan Indonesia di Belanda dan perwakilan seluruh organisasi pemuda di Hindia Belanda saat itu.

Tindak lanjut dari ‘Kongres’ Pemuda I adalah Kongres Pemuda II pada 27 – 28 Oktober 1928. Pada Kongres inilah menghasilkan dua keputusan utama yaitu Lagu Nasional untuk atau ketika Indonesia sudah Merdeka dan Sumpah Pemuda.

SOEMPAH PEMOEDA

Pertama, Kami Poetra dan Poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia

Kedoea, Kami Poetra dan Ooetri Indonesia mengakoe Berbangsa jang Satoe, Bangsa Indonesia

Ketiga, Kami Poetra dan Poetri Indonesia mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia

Kini, Sekian Puluh Tahun Kemudian, Mungkin, dirimu termasuk pemuda/i kekinian, yang  pernah atau ikut ‘melakukan gerakan’ pada tahun 1974, 1977, 1980an, 1998? Masih Ingat Sumpah Pemuda?


Sumpah Pemuda Keturunan Arab

  1. Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia
  2. Karena itu harus meninggalkan kehidupan sendiri
  3. Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia

Kongres Sumpah Pemuda Keturunan Arab
Semarang, 4-5 Oktober 1934.

Pada masa kolonial, pemerintah Belanda membagi tiga strata masyarakat di Indonesia.

Kelas teratas adalah warga kulit putih, seperti Eropa, Amerika, Jepang, dan lain-lain. Kelas kedua adalah warga Timur Asing (Arab, India, Tiongkok, dan lainnya). Sedangkan kelas ketiga adalah pribumi Indonesia.

Saat itu, orang-orang kelas kedua, yaitu Arab, yang datang ke Indonesia mayoritas berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan. Di Indonesia, para pria Arab ini menikah dengan wanita pribumi, yang kemudian memiliki anak peranakan Arab.

AR Baswedan terus aktif menyerukan pada orang-orang keturunan Arab untuk bersatu membantu perjuangan Indonesia. Untuk itu, ia berkeliling ke berbagai kota di Indonesia untuk menyebarkan pandangannya kepada kalangan keturunan Arab.

Ia mengajak para keturunan Arab, seperti dirinya untuk menganut ius soli, yang berarti di mana saya lahir, di situlah tanah airku. Tanah air Arab peranakan adalah Indonesia, kultur Arab peranakan adalah Indonesia, dan Arab peranakan wajib bekerja untuk Indonesia.

Sayangnya, upaya AR Baswedan tersebut, warga keturunan Arab sempat merasa geram dengan Baswedan, karena ia dianggap menurunkan derajat orang-orang Arab pada masa itu. Tapi, AR Baswedan tidak pernah berhenti.

Sikap dan keangkuhan kebanyakan Turunan Arab seperti itu, maka mereka tak ada atau tidak terwakili pada waktu Sumpah Pemuda 1928.

Oleh sebab itu, Baswedan Kongres Pemuda Keturunan Arab adalah sumpah yang dilakukan para pemuda keturunan Arab di Semarang pada 1934.

Selain terbentuk Sumpah Pemuda Keturunan Arab, hasil kongres membentuk Persatuan Arab Indonesia yang kemudian menjadi Partai Arab Indonesia.

Pada kongres, para pemuda keturunan Arab bersepakat untuk mengakui Indonesia sebagai tanah air mereka; sebelumnya kalangan keturunan Arab beranggapan bahwa tanah air mereka adalah negeri Arab. Mereka berharap bangsa Arab-Indonesia harus disatukan untuk nantinya berintegrasi penuh kepada bangsa Indonesia.

Sejak 4 Oktober 1934, para keturunan Arab bersatu melakukan pergerakan nasional dan meninggalkan identitas ke-Araban mereka.

Mereka mengubah identitas dari semangat keAraban menjadi semangat keIndonesiaan.

Ketegasan ini awalnya banyak menerima pertentangan, tetapi karena seruan kongres terus menggema, akhirnya banyak peranakan Arab yang mendukung gagasan ini.

Para Penggagas Sumpah Pemuda Arab dan Partai Arab Indonesia: AR Baswedan, Nuh Alkaf, Salim Maskati, Segaf Assegaf, Abdurrahim Argubi

Opa Jappy